Pengolahan Ikan di Indramayu Barat Kolaps

Pengolahan Ikan di Indramayu Barat Kolaps

KANDANGHAUR - Sejumlah industri pengolahan ikan di wilayah pesisir pantura Kabupaten Indramayu Bagian Barat (Inbar) terancam gulung tikar. Harga garam melonjak ditambah cuaca tidak bersahabat menjadi biang penyebabnya. “Harga garam naik, ikannya lama kering. Biaya produksi sama upah pekerja jadi membengkak. Lambat laun, kalau terus-terusan begini usaha kami bakalan terpuruk lalu gulung tikar,\" ujar Mana, pengusaha pengolahan ikan di Kecamatan Kandanghaur, kepada Radar, Selasa (8/11). Dia mengungkapkan, naiknya harga garam terjadi sejak dua bulan lalu bersamaan dengan semakin intensnya hujan turun. Mula-mula Rp400/kg, lalu naik Rp600 dan terakhir Rp1.000/kg. Dengan kebutuhan garam mencapai 2 kuintal per hari, modal untuk membeli garam menjadi naik hampir 500 persen dari biasanya. “Dulu kan cuma dua ratus perak sekilo, sekarang seribu. Itupun kitanya ngambil sendiri di gudang. Kalau diantar sampai tempat, bisa dua kali lipatnya. Kena biaya transport,” ujar dia. Biaya upah kerja saat musim penghujan juga menjadi berlipat-lipat. Sebab jika biasanya pengeringan ikan cukup dua hari, sekarang memakan waktu sampai 4-5 hari. Bahkan dia mengaku sering mengalami kerugian akibat cuaca mendung dan hujan. Ikan menjadi tak layak konsumsi untuk manusia karena munculnya belatung.  Tak mau merugi besar, dia memilih menjual ikan-ikan tersebut sebagai bahan pembuat pakan ternak dengan harga setengah harga dari biasanya. Sementara di sisi lain, meskipun  harganya melonjak, sebagian besar petani garam rakyat di wilayah pesisir pantura Kabupaten Indramayu justru gigit jari. Mereka tak bisa menikmati lonjakan harga garam lantaran stok yang dimiliki menipis. “Hampir habis semua. Paling tersisa sekitar 15 persen,” ungkap Darmin, petani garam rakyat asal Kecamatan Kandanghaur. Kenaikan harga garam, lanjut dia, mulai terjadi secara bertahap sekitar dua bulan lalu. Saat harga Rp600/kg, petani garam mulai ramai-ramai menjual garam simpanannya. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, hasil penjualan garam juga dipergunakan untuk membayar utang sampai menyumbang sanak saudara yang menggelar pesta hajatan. Belakangan, ketika stok mulai menipis harganya terus melonjak. Diperkirakan sampai awal tahun depan, harganya bisa menembus Rp2.000/kg. “Untuk kembali produksi gak bisa, hujannya masih intens. Kalau sudah begini kami cuma bisa gigit jari aja,” ucap Darmin. Bapak tiga orang anak ini mengaku tidak menyangka harga garam bakal naik gila-gilaan. Pasalnya, sampai memasuki pertengahan tahun 2016, harganya relatif stabil dikisaran Rp400/kg. Padahal waktu itu musim penghujan sudah berjalan hampir satu tahun akibat anomali cuaca. Petani garam asal Kecamatan Losarang, Wandi membenarkan kondisi itu. Sepanjang perubahan cuaca ekstrem, petani petani tak bisa memproduksi garam. Sebab, proses pembuatan garam menggunakan sinar matahari. Jadi, saat musim penghujan petak-petak garam dibiarkan kosong. Meningkatnya harga ini karena permintaan naik sedangkan produksi garam rakyat sudah tidak ada lagi. Umumnya, petani garam maupun pemilik gudang menjual stok produksi sisa produksi saat musim kemarau tahun 2015 lalu. “Saat ini, harga garam di pasaran sangat tinggi. Tetapi kami tidak bisa menikmatinya. Lah apa yang mau di jual, produksi saja tidak,” keluhnya. Menurut Wandi, untung besar justru didapat oleh para bandar garam yang memiliki modal besar. Saat panen garam, mereka membeli dengan harga murah ke petani. Jika panen raya, paling tinggi harga garam hanya Rp200 per kilogram. Setelah dibeli dengan harga murah, bandar lalu menyimpan garam tersebut di gudang. Ketika harganya mahal seperti saat ini bandar langsung melepasnya ke pasaran. (kho)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: