Tidak Kapok, Juhanda Bisa Dihukum Mati

Tidak Kapok, Juhanda Bisa Dihukum Mati

TIGA hari setelah ledakan, Gereja Oikumene di Jl Cipto Mangunkusumo, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Samarinda, masih dijaga ketat. Hingga kemarin (15/11), Tim Densus 88 Antiteror, Gegana, dan anggota Detasemen B Pelopor Polda Kaltim terus menggali petunjuk di lokasi ledakan. Kaltim Post (Radar Cirebon Group) terus merangkum keterangan saksi, yakni beberapa jemaat Huria Batak Kristen Protestan yang mengikuti ibadah pada Minggu (13/11). Nyaris tak ada yang melihat persis perbuatan Juhanda. Bom molotov diledakkan pria 33 tahun asal Ciniru, Kabupaten Kuningan itu ketika seluruh umat baru selesai berdoa. Ledakan tiga kali terdengar di pengujung kebaktian. Saat itu, umat sedang menunggu bersalaman dengan pendeta yang berjalan menuju pintu depan. Hanya beberapa anak kecil di luar gereja. Mereka, tiga di antaranya turut menjadi korban, baru saja selesai Sekolah Minggu di belakang gereja. Adapun Intan Olivia Br Marbun, korban yang meninggal, sebenarnya bersama orang tuanya di dalam gereja. Tapi saat ibadah selesai, bocah yang baru bisa berbicara itu berlari duluan ke pintu depan. Dia bergabung bersama beberapa anak yang lain. Empat balita yang terkena ledakan berusia antara dua sampai empat tahun. Mereka belum banyak memahami komunikasi dengan orang dewasa. Kepada salah satu jemaat yang meminta namanya tidak ditulis, seorang anak yang melihat peristiwa itu bercerita. Selain empat anak tadi, ada kakak-beradik yang melihat Juhanda. Pria itu mengenakan kaus hitam. Tangannya memegang tas dan korek. “Anak-anak itu bercerita bahwa pria ini menaruh tas di teras gereja,” tutur sumber Kaltim Post. Juhanda sempat menyuruh kakak-beradik itu masuk ke gereja. Namun, 4 balita di pintu depan, tidak mengerti apa-apa. Mereka tetap di sana. Juhanda lalu menyalakan bom. Diduga, Juhanda sadar bahwa bom yang meledak pasti melukai anak-anak. Ivan Zairani Lisi, pengamat hukum dari Universitas Mulawarman, mengatakan bahwa aksi itu sangat biadab. Dekan Fakultas Hukum itu menambahkan, dalam aspek hukum, Juhanda sudah bisa dihukum mati. Aturan hukum Indonesia mengizinkan hal tersebut. “Lagi pula, dia sudah terlibat di sejumlah aksi teror di Indonesia,” tegas Ivan. Dia menilai, tindakan Juhanda pasti memiliki pemicu. Lokasi pengeboman yang tak jauh dari kediaman Juhanda juga menyimpan petunjuk penting. Juhanda bukan orang baru di kelompok ekstrem. Pria itu pernah dipidana pada 4 Mei 2011 dengan hukuman 3 tahun 6 bulan kurungan. Dia bebas pada 28 Juli 2014 sebelum datang ke Samarinda. Juhanda diketahui terlibat teror bom Puspitek di Serpong, Tangerang Selatan. Dia turut menjadi terduga pelaku Bom Buku di Jakarta pada 2011. Sampai kemarin, Juhanda masih diperiksa di Mapolresta Samarinda bersama 19 saksi. Mereka diperiksa tertutup di ruang khusus Satreskrim Polresta Samarinda. Tak ada celah bagi awak media mendekati para saksi. Kapolda Kaltim Irjen Pol Safaruddin mengatakan, lokasi TKP maupun anggota yang memeriksa pelaku dan saksi harus steril dari masyarakat sipil. “Biarkan anggota fokus bekerja. Jika sudah, hasilnya dibeberkan,” terang jenderal bintang dua tersebut kemarin. Juhanda ditaruh di tempat terpisah. Dia dijaga ketat. Terali besi khusus mengurungnya berikut kawalan petugas bersenjata lengkap. Sejak pagi kemarin, Kapolda sudah menggelar perkara dengan pejabat Polda Kaltim dan Polresta Samarinda bersama Densus 88 Mabes Polri. Mereka membahas perkembangan kasus bom gereja. Belum banyak perkembangan mengenai jumlah tersangka. Sementara itu, masjid tanpa nama yang menjadi tempat tinggal Juhanda di Samarinda masih lengang pada Selasa (15/11) kemarin. Pagar di depan bangunan berkeramik putih itu terkunci. Garis polisi yang melilit, ketika tiga orang dibawa kepolisian sejam setelah pengeboman, sudah tak ada lagi. Masjid tempat Juhanda menjadi marbot itu berdiri sekitar 200 meter dari lokasi pengeboman. Di situ pula, Juhanda diduga merakit bom molotov. (JPG)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: