Mengenal Komunitas e-Tuli; Tawa dari Dunia tanpa Suara

Mengenal Komunitas e-Tuli; Tawa dari Dunia tanpa Suara

Ketika suara bagi mereka tak berarti, visual dan gerak yang mereka mengerti. Menggantikan apa yang seharusnya didengar. Laporan: MIKE DWI SETIAWATI, Cirebon DENGAN tangan yang bergerak cepat dan bibir mereka yang naik turun penuh tenaga. Seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tak terdengar. Tangan yang seolah-olah menyimpulkan suatu arti. Telapak yang digenggam, tunjuk sana, tunjuk sini. Suasana itu yang terlihat saat mengunjungi posko Komunitas e-Tuli di Jl Dr Cipto Mangunkusumo. Kedatangan wartawan Koran ini pun mendapatkan sambutan yang hangat. Bahkan satu persatu mereka bersalaman sembari tersenyum ramah dan mengajak berkomunikasi. Hanya saja dikarenakan keterbatasan kemampuan memahami bahasa isyarat, komunikasi yang dibangun dengan komunitas tersebut kurang lancar. Beruntung dalam menjalin komunikasi, dipandu oleh Muhamad Ibnu (35), koordinator komunitas e-Tuli. Komunitas yang berdiri tahun 2014 itu awalnya hanya terdiri dari beberapa orang yang sering berkumpul dengan menggunakan bahasa isyarat. Ibnu sebagai penggagas komunita sini terus mengajak masyarakat yang memiliki kekurangan berkomunikasi untuk terus berjuang mendapatkan posisi yang sama di tengah masyarakat. \"Kami hanya ingin keberadaan kaum tuna rungu bukan hanya menjadi bahan ejekan (bully),” ujar Ibu, kepada Radar. Bagi Ibnu, setiap anggota e-Tuli untuk bersosial dengan masyarakat melalui bimbingan dan pelatihan pembinaan mental untuk berinteraksi dengan sesama. Ini untuk mengurangi emosi antar orang tuli dan meminimalisasi perbedaan pengertian antar komunitas. E-tuli mempunyai kegiatan di setiap pekannya, diantaranya pengajian (ceramah), sharing tentang usaha, hingga rekreasi. Fokus kegiatan komunitas e-Tuli juga melakukan kampanye bahasa isyarat kepada masyarakat Kota Cirebon. \"Salah satu kegiatan kami adalah belajar bahasa isyarat jari, agar komunikasi kami satu sama lain bisa lancar. Bahasa isyarat yang kami gunakan sudah sesuai dengan aturan Basindo (Bahasa Isyarat Indonesia),\" jelasnya. Belum lama ini, Komunitas E-Tuli ikut berpartisipasi saat peringatan Hari Tuli Internasional pada bulan September. \"Nanti bulan Desember rencananya kami akan mengadakan event di hari difabel sedunia,\" katanya. Terkait nama komunitas ini, huruf \'e\' di awal nama komunitasnya menunjuk pada nomor polisi kendaraan \"E\" yang berlaku di wilayah Ciayumajakuning. Maka tidak heran, para penyandang tuna rungu yang bergabung di e-Tuli berasal dari wilayah Ciayumajakuning. Saat ini, anggota komunitas e-Tuli tercatat sekitar 150 orang yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan maupun pekerjaan. Antara lain sebagai tukang parkir, cleaning service, karyawan swasta, guru, dan lainnya. Bahkan beberapa diantaranya memiliki bakat cukup bagus, seperti dalam hal melukis, olahraga ataupun kesenian. \"Walau memiliki kekurangan dalam hal pendengaran, tapi mereka juga mampu melakoni pekerjaan yang juga dilakukan masyarakat pada umumnya,\" tuturnya. (*)      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: