Bagaimana Menjaring Orang Mampu (2)
MESKI di belakang hari banyak yang kecewa, saya akui ide awal Presiden SBY ini sangat brilian. Ide inilah yang bisa menjadi terobosan untuk menutup sisi lemah hasil proses demokrasi di negara yang demokrasinya masih muda seperti Indonesia. Dengan ide tersebut, kekhawatiran bahwa proses demokrasi akan menghasilkan “yang terpilih belum tentu mampu, yang mampu belum tentu terpilih” bisa dikurangi. SBY tahu di negeri ini banyak orang yang mampu namun tidak populer. Atau belum populer. Dari banyak yang mampu itu terbagi dalam beberapa kelompok. Ada kelompok mampu yang kemampuannya diakui secara umum oleh banyak orang. Ada juga kelompok mampu yang hanya mereka sendiri yang menilai bahwa mereka mampu. Karena itu, SBY memiliki ide untuk menjaring orang-orang yang mampu kategori pertama. Bukan dengan cara membuka pendaftaran, melainkan dengan cara melakukan penelitian. Cara pendaftaran dihindari untuk mencegah masuknya nama-nama yang hanya dirinya sendiri yang merasa mampu. Seingat saya, SBY waktu itu menunjuk sebuah lembaga survei untuk melaksanakan riset tersebut: Saiful Mujani. SBY minta agar lembaga survei tersebut mengajukan pertanyaan kepada 200 orang bergelar profesor dan doktor dari berbagai latar belakang. Pertanyaannya, kalau tidak salah: Siapa orang yang Anda anggap mampu memimpin Indonesia ke depan. Artinya: untuk menggantikan SBY yang harus turun takhta dua tahun kemudian. Yang ditanya tidak boleh menyebut atau mengajukan dirinya sendiri. Bahwa namanya disebut oleh profesor-doktor yang lain, tidak masalah. Saya dengar beberapa orang profesor-doktor tidak bersedia menjadi responden. Tapi, lembaga survei Saiful Mujani dengan mudah bisa mencari penggantinya. Yang jelas, survei itu berhasil menyusun 10 besar nama-nama yang dianggap mampu memimpin Indonesia. Mengapa hanya level profesor-doktor yang menjadi responden? Dalam suatu kesempatan, SBY menjelaskan bahwa level itu tidak diragukan lagi akan mampu menilai siapa yang layak dan tidak layak menjadi pemimpin nasional. Terutama dilihat dari segi kemampuan atau kualitas. Bukan dari sudut popularitas atau keterpilihan. SBY, khusus untuk ini, menghindari pendapat umum. Kalau masyarakat awam dilibatkan dalam survei itu, belum tentu hasilnya bisa memuaskan. Belum tentu bisa terlihat sisi kemampuan yang lebih teknis dan detail dari seorang tokoh. Bisa jadi tokoh yang bisa mengemas dirinya atau terkemas oleh media yang akan terlihat. Saya dengar sekitar 10 pemimpin redaksi media massa ikut dipilih sebagai responden. Pertimbangannya adalah untuk melihat kemampuan seseorang dari sudut akuntabilitas. Saya beruntung bisa mendapat bocoran siapa saja yang masuk 10 besar hasil survei itu. Lengkap dengan nama dan nomor urutnya. Tapi, secara resmi tidak pernah ada pengumuman untuk itu. Baik oleh lembaga surveinya maupun oleh SBY sebagai pemilik idenya. Saya kira memang lebih baik begitu. Mengapa respondennya hanya 200 profesor-doktor? Bukan 1.000? Pertama, itu sudah memenuhi kaidah ilmiah. Kedua, tidak perlu menghubungi profesor-doktor dari seluruh Indonesia. Sedapat mungkin mereka adalah profesor-doktor yang tahu kapasitas pribadi tokoh yang akan diusulkan dari dekat. Orang jauh cenderung tahunya dari media atau kemasan. Dari nama-nama 10 besar yang saya peroleh itu, harus diakui, belum ada satu pun yang popularitasnya menyamai popularitas tokoh yang waktu itu sudah beredar. Jangankan melampaui, mendekati pun belum. Kenyataan itu di satu pihak memang menyadarkan bahwa demokrasi memiliki misterinya sendiri. Di lain pihak, sungguh berat bagi SBY untuk mencari pengganti yang ideal seperti yang dia inginkan. Maka, menurut SBY, tugas pihak-pihak yang mencintai Indonesialah yang harus meningkatkan popularitas tokoh-tokoh yang dianggap mampu itu. Termasuk SBY sendiri. Akhirnya, kita semua tahu, SBY memiliki cara tersendiri untuk menindaklanjuti hasil pemikirannya yang ideal tersebut. Sayangnya, SBY menempuh jalan untuk melaksanakan idenya itu melalui partainya, Partai Demokrat. Mulai dari tahap inilah ide brilian yang awalnya “sangat Indonesia” itu turun menjadi “sangat partai”. Dengan segala kemudahan dan kesulitannya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: