Ekonomi Menunggu Obat Ayam Stres

Ekonomi Menunggu Obat Ayam Stres

  SAYA bersyukur kedatangan ahli yang satu ini. Yang bisa jadi teman diskusi untuk persoalan berat saat ini: ekonomi. Terutama soal makroekonomi yang diklaim sangat baik, tapi mikroekonominya seret. Seperti yang saya gambarkan dalam tulisan saya Senin lalu. Tamu saya Jumat malam kemarin mengingatkan saya akan masa muda ahli ekonomi kita seperti Sri Adiningsih atau Aviliani. Atau masa muda Sri Mulyani. Di samping masih muda, tamu saya kali ini lebih modis. Juga lebih atraktif. Namanya Dr Denni Puspa Purbasari. Lulusan University of Colorado Boulder (PhD) dan University of Illinois at Urbana-Champaign (S-2). Sedangkan S-1-nya dari Universitas Gadjah Mada dengan nilai kelulusan terbaik dan tercepat. Jabatan Denni saat ini adalah deputi di Kantor Staf Presiden. Yang membidangi ekonomi. Karena itu, dia bisa lebih independen dalam melihat situasi riil ekonomi kita. Bahkan, dia bisa bersikap kritis. Agar input ke Bapak Presiden bisa lebih objektif. Dalam menilai kebijakan ekononi maupun pelaksanaan kebijakan di lapangan. Banyak yang kami bahas malam itu. Sambil menikmati semur lidah bikinan istri saya. Dr Denni menjelaskan keberadaan dana Rp70 triliun yang bisa menggerakkan ekonomi di bawah. Yakni, dana desa, kesehatan, dan pendidikan. Dananya ada. Begitu diserap pasti langsung dibelanjakan. Saya mengemukakan adanya fenomena ayam stres. Yang terjadi di mana-mana saat ini. Padahal, ayam tersebut ayam petelur. Karena stres, ayamnya bisa-bisa tidak mampu lagi bertelur. Ayam yang saya maksud adalah pengusaha. Sektor swasta. Mengapa para pengusaha, eh ayam petelur itu, stres? Itu karena banyaknya kejadian yang “anti-ekonomi”. Pengusaha tidak tenang. Kalau harga daging naik, peternak besar diancam-ancam. Rumah potong hewan dirazia. Saat harga beras naik, pedagang beras dirazia. Diancam-ancam. Dengan tuduhan yang anti-ekonomi. Dicari-cari. Lalu, muncul berita sekitar pelaporan penggunaan kartu kredit. Disusul lagi berita tentang pelaporan saldo di atas Rp200 juta. Yang kemudian diralat menjadi di atas Rp1 miliar. Ada pula heboh PPN tebu rakyat. Dan seterusnya. Ayam-ayam petelur seperti terkaget-kaget oleh suara dar-der-dor mercon. Atau granat. Atau bom. Memang suara itu sebenarnya tidak mematikan ayam. Tapi takut bertelur. Padahal, sejak lama kita sepakat bahwa peran swasta lebih dominan untuk membangun ekonomi negara. Peran negara, sebanyak apa pun uangnya, tidak akan bisa mencapai 30 persen. Apalagi kalau keuangan negara juga lagi seret. Jumat sebelumnya saya makan pagi dengan sejumlah banker. Secara kebetulan. Di STIE Perbanas Surabaya. Setelah saya memimpin senam masal “Dahlan Style” di situ. Mereka membenarkan adanya fenomena ayam stres tersebut. Bahkan, kata salah seorang banker itu, pembayaran lewat cheque menurun tajam. Ada ketakutan melakukan transaksi nontunai. Kalau sampai ayam petelur kita terus stres, bagaimana kita bisa mengharapkan telur emasnya? Berupa proyek-proyek baru? Lapangan kerja baru? Bahkan pajak-pajaknya? Bisakah kita berharap kenaikan pendapatan pajak kalau ayamnya tidak bisa bertelur? Dr Denni mendengarkan dengan baik. Lalu, ganti saya yang menjadi pendengar. Tentu tidak semuanya bisa saya share di sini. Analisisnya tajam. Kritis. Dan cerdas. Antara otak dan bibirnya seperti ada bluetooth kapasitas besar. Kecepatan berpikirnya dan kecepatan bicaranya seperti kecepatan kilat dan petir. Dr Denni memang mengkhawatirkan kalau sampai terjadi pemusatan sumber ekonomi pada negara. Dengan uraian yang gamblang dasar teorinya. Dengan bahaya-bahaya dampaknya. Dalam pembicaraan sekitar dua jam itu, saya merasa seperti mengikuti kuliah ekonomi dua semester. Tanpa ada mercon-mercon baru pun, ayam-ayam stres tersebut perlu waktu lama untuk menenangkan diri. Sebelum kembali mampu bertelur. Apalagi kalau mercon-mercon baru ternyata masih akan terus meledak. Jangan-jangan bukan hanya mercon. Bahkan jangan-jangan granat. Mengingat tahun depan sepertinya ekonomi masih akan jadi anak tiri. Apa boleh buat. Sementara ayam-ayamnya masih stres, berapa pun uangnya, dana negara harus kita tunggu. Apalagi kalau dana haji yang Rp 0 triliun itu jadi dipakai negara. Untuk mempercepat infrastruktur. Rasanya akan lumayan. Lumayan? Entahlah. Kalau dana itu jadi dipakai untuk membiayai infrastruktur, yang bisa bernasib lumayan adalah BUMN. Artinya kembali ke sektor negara lagi. Swasta boleh tetap gigit jari. Untungnya, Anda tidak akan gigit jari sendirian. Dana haji tersebut selama ini disimpan di bank. Berarti telah memperkuat permodalan bank. Kalau sampai dana haji Rp90 triliun itu ditarik dari bank, berarti kemampuan bank menyalurkan kredit juga menurun. Kita rupanya lagi memerlukan obat penenang. Yang diciptakan khusus untuk menenangkan ayam stres. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: