Tak Mampu Beli Beras, Keluarga Ini Lima Tahun Makan Nasi Aking

Tak Mampu Beli Beras, Keluarga Ini Lima Tahun Makan Nasi Aking

KUNINGAN-Miris dan memilukan. Itulah nasib yang dialami Aswadi (85) dan keluarganya. Kemerdekaan negeri ini yang sudah 72 tahun, nyaris tak dirasakan oleh Aswadi. Di usianya yang sudah renta itu, Aswadi terpaksa tinggal di rumah yang lebih layak disebut gubuk di sisi pemakaman umum Desa Sukaharja, Kecamatan Cibingbin. Jika musim penghujan, Aswadi terpaksa harus mencari sisi lain rumahnya yang tak bocor. Kondisi lingkungannya juga tak jauh dari sehat. Di samping gubuknya mengalir kali (sungai) kecil yang dipenuhi sampah. Rumah yang terbuat dari bambu itu nampak sudah lapuk di makan usia. Hampir sebagian dinding bamboo terlihat bolong-bolong. Rumah yang memiliki dua kamar masing-masing berukuran 2x5 meter, kemudian satu ruang tamu dan dapur di halaman rumah, makin menambah rasa keprihatinan menyaksikan nestapa yang dialami keluarga Aswadi. Tak ada barang berharga di dalam rumah. Jangankan televisi, mereka juga tak memiliki lemari untuk menaruh pakaian. Alhasil, di ruang tamu bertebaran aneka macam pakaian milik si empunya rumah. Rumah yang masih berlantai tanah itu menjadi tempat berteduh Aswadi, meski tidak layak. Sudah lima tahun, dia menempati rumah yang berdiri di atas tanah milik Pemdes Sukaharja tersebut. Di ruang tamu, tak ada kursi maupun tempat untuk duduk. Hanya ada satu kasur tipis yang warnanya sudah pudar. Beberapa bagian kasur terlihat sobek, dan dibiarkan oleh pemiliknya. “Boro-boro buat beli kasur, apalagi lemari, untuk makan saja sangat sulit. Pekerjaan saya juga serabutan,” tutur Aswadi yang tubuhnya tinggal tulang dibalut kulit tersebut. Selama bertahun-tahun, Aswadi mengaku tak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Program beras sejahtera (rastra) yang digulirkan pemerintah juga tak menyentuhnya. Dia tetap harus membeli rastra seperti warga lainnya. Bahkan rumahnya juga tak jua masuk dalam program rumah tidak layak huni (rutilahu, red) yang anggarannya dikucurkan pemerintah daerah. Padahal kondisi rumahnya jauh lebih memprihatinkan. “Abdi mah can pernah kenging bantuan ti pamarentah. Raskin oge kedah meser. Sedengkeun abdi teu gaduh artos kanggi meserna. Ti desa oge teu aya bantuan sama sekali,” kata Aswadi didampingi sang istri, Ruki dengan bahasa Sunda. Aswadi memejamkan matanya. Buliran air mata mulai merembes dari kelopak yang sudah keriput. Menggunakan telapak tangannya, dia menyeka air matanya. Dipeluknya sang istri yang juga tak mampu menahan tangisnya. Anak perempuannya, Asih dan cucunya terbawa larut dalam kesedihan melihat kedua orang tuanya menangis. “Abdi tinggal di bumi ieu limaan. Abdi, istri, pun anak sareng dua cucu. Sehari-hari bekerja memecah batu dibantu istri. Kadang kerja lain yang penting bisa dapat uang untuk beli nasi aking,” paparnya dengan suara parau. Ya, sudah hampir lima tahun ini, Aswadi dan keluarganya mengonsumsi nasi aking. Dia terpaksa membeli nasi aking kepada tetangganya untuk makan sehari-hari lantaran tak sanggup membeli beras. Dengan harga Rp3 ribu/kilogram, nasi aking itu bisa dimakan untuk pagi, siang dan sore. Nasi aking yang warnanya sudah pucat itu kemudian dibersihkan kembali, lantas dijemur. “Kalau lagi tidak punya uang, saya terpaksa ngutang nasi aking dulu ke warung yang jual. Harganya memang berbeda kalau ngutang. Lauk pauknya seadanya. Kadang sama garam dan cabai saja. Jujur, saya tidak sanggup untuk membeli beras yang harganya mahal,” ungkapnya. Sang istri, Ruki membersihkan nasi aking yang akan dimasaknya. Sesekali dia meminta anaknya, Asih untuk ikut membersihkan nasi basi tersebut. Nasi aking yang tidak layak untuk dikonsumsi itu terpaksa menjadi makanan sehar-hari lantaran dia tak memiliki uang untuk membeli beras. “Saya dan suami serta anak pasrah saja dengan kondisi seperti ini. Mau bagaimana lagi, karena uang juga tak punya,” imbuhnya. (ags)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: