Inefisien karena Salah Makan
JAKARTA - Dalam kapasitas sebagai mantan direktur utama Perusahaan Listrik Negara (PLN), Dahlan Iskan menjelaskan temuan inefisiensi Rp37,6 triliun di perusahaan pelat merah itu kepada Komisi VII DPR kemarin. Menurut Dahlan, posisi PLN saat itu adalah \"korban\" ketiadaan gas sehingga terpaksa menggunakan bahan bakar minyak (BBM) untuk menghidupkan pembangkit listrik. \"Masalah salah makan PLN itu rasanya sudah lama. Sebelum saya jadi Dirut sudah sering saya persoalkan. Pembangkit yang harusnya pakai gas tapi pakai BBM karena PLN nggak dapat gas. Saya kira, anggota komisi VII yang lama-lama, tahu kalau ini dulu sering saya sampaikan,\" ujarnya. Dahlan tidak tahu berapa kerugian PLN karena \"salah makan\" sebelum dirinya menjadi Dirut. Yang pasti, saat itu PLN tidak memiliki wewenang yang besar untuk mendapatkan gas yang cukup. \"Apa yang bisa dilakukan seorang Dirut PLN untuk dapat gas. Saya waktu itu sampai pergi ke Iran, tapi kan tidak gampang karena ada masalah politik,\" ungkap pria yang kini menjabat menteri badan usaha milik negara (BUMN) itu. Padahal, jika menggunakan gas, PLN memiliki kesempatan untuk melakukan efisiensi. \"Kalau misalnya waktu itu saya punya wewenang untuk merampas gas, akan saya lakukan itu. Tapi ternyata kan nggak bisa. Bahkan, saya bilang ke direksi, ayo kita beli sumur gas sendiri supaya tidak bergantung pihak lain, tapi kenyataannya kan tidak bisa,\" ungkap Dahlan. Terkait dengan kontraktor gas yang tidak bisa memenuhi kewajiban, Dahlan mengatakan bahwa berdasar aturan memang tidak bisa dikenakan sanksi meski hal itu bisa merugikan. \"Menurut BP Migas memang tidak bisa dimasukkan sanksi dalam klausul kontrak (suplai gas, red). Makanya, PLN tidak bisa apa-apa,\" katanya. Mengenai sanksi terhadap kontraktor batu bara, Dahlan menegaskan bahwa PLN sudah menyita uang jaminan dari perusahaan tersebut karena telah mengingkari kontrak. Uang hasil sita itu masuk kas PLN. Saat itu banyak pemasok batu bara yang menjual produknya keluar negeri karena harga lebih tinggi. PLN mengingatkan bahwa uang jaminan akan disita kalau mereka wanprestasi. \"Katanya tidak apa-apa karena harga batu bara di luar lebih menguntungkan. Sekarang, saat harga turun, mereka mohon lagi ke PLN supaya mau terima batu bara,\" ungkap Dahlan. Karena kondisi tersebut, pembangkit milik PLN bisa mati. Jalan keluar satu-satunya adalah menggunakan BBM. \"Memang secara makro ada kelebihan daya, tapi secara mikro itu tidak bisa karena sistemnya belum dipersiapkan untuk dimasuki (listrik, red) dari daerah lain,\" kata Dahlan. Dia mencontohkan, jika pembangkit listrik Muara Karang mati, Jakarta Utara akan kehilangan daya 1.000 mw yang tidak bisa digantikan dari tempat lain. \"Sekarang sudah tidak seperti itu. Kalau mati bisa dipasok listrik dari daerah lain. Itu makanya di Gandul (Depok, red) kita tambah trafo 500 Kv (Kilovolt, red),\" tuturnya. Trafo seperti itu dibeli PLN dengan harga Rp120 miliar. Nah, pada era Dahlan, trafo semacam itu dibeli dengan banderol Rp39 miliar. Terkait dengan pemakaian genset yang dituding pemborosan, Dahlan mengatakan bahwa pemakaian genset hanya dilakukan di luar Jawa. Sebab kalau harus membangun pembangkit, butuh waktu minimal tiga tahun. Meski agenda rapat adalah meminta klarifikasi terkait dengan inefisiensi di PLN, beberapa anggota komisi VII memanfaatkan forum itu untuk berkomentar tentang dugaan pemerasan BUMN oleh oknum anggota DPR. Masalah tersebut mencuat setelah Dahlan melaporkan sejumlah anggota DPR yang diduga memeras BUMN. Wakil Ketua Komisi VII Effendi Simbolon mengatakan rapat akan dilanjutkan minggu depan. Pihaknya meminta Dahlan lebih dalam membaca hasil audit BPK. \"Rapat kita tunda dulu. Pak Dahlan, kita minta membaca keseluruhan hasil audit BPK dulu,\" kata anggota Fraksi PDI Perjuangan itu. (wir/c1/ca)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: