Eks Komisioner KPU Gugat UU Pemilu, Soroti Presidential Threshold

Eks Komisioner KPU Gugat UU Pemilu, Soroti Presidential Threshold

JAKARTA - Arus judicial review (JR) terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilu (UU Pemilu) belum berakhir. Meski tahapan pemilu sudah di depan mata, ketidakpuasan terhadap produk yang pengesahannya sempat diwarnai deadlock tersebut terus berdatangan. Terbaru, mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay melayangkan gugatan terhadap pasal 222 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden. Dia menggugat bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif. Gugatan itu merupakan yang kesepuluh terhadap UU Pemilu. Sebelumnya, JR diajukan Advokat Cinta Tanah Air, Partai Idaman, Effendi Gazali, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Perindo, Partai Bulan Bintang, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, serta dua gugatan dari warga Aceh. Hadar Nafis Gumay mengatakan, gugatan itu diajukan murni atas keresahannya melihat konstruksi UU Pemilu, khususnya terkait presidential threshold (PT). Menurut dia, meski MK sudah empat kali menyatakan bahwa PT sebagai kebijakan pembuat UU atau open legal policy, kondisinya sudah berbeda. Yakni, hasil Pemilu 2014 tidak ideal untuk digunakan pada 2019. “Kami memandang putusan open legal policy tidak berdiri sendiri. Memahaminya harus lah melihat konteks konstitusi secara keseluruhan,” ujarnya di gedung MK, Jakarta, Rabu (6/9). Hadar meyakini, sebagai pemilih dan lembaga yang consern pada kepemiluan, memiliki kedudukan hukum untuk melakukan JR. Meski pasal PT mengatur syarat partai mengajukan presiden, warga sebagai pembayar pajak berhak atas keberatan terhadap UU. “Apalagi, kalau perseorangan atau organisasi yang sudah menunjukkan upaya untuk pemilu yang demokratis, mereka punya hak untuk bisa mendapat ruang koreksi terhadap UU yang dipandang keliru,” imbuhnya. (far/c4/fat)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: