Bisnis Menggiurkan,  Banyak yang “Nakal”  Main Limbah Medis

Bisnis Menggiurkan,  Banyak yang “Nakal”  Main Limbah Medis

Limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya) medis di Panguragan, Kabupaten Cirebon, bikin heboh. Setelah ditelusuri, ternyata bisnis yang merusak lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat ini berjalan sejak 2011. “Karena menguntungkan akhirnya banyak yang nakal,” ujar Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 KLHK, Ir Sinta Saptarina Soemiarno MSd.  ================================ MENURUT data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, jumlah rumah sakit di Indonesia ada 1.725 rumah sakit umum, 503 rumah sakit khusus, dan 9.655 puskesmas. Setiap harinya, fasilitas-fasilitas kesehatan tersebut menghasilkan limbah medis. Nah, limbah medis ini menghasilkan rupiah yang tak sedikit. Nilai jual yang sudah diolah diperkirakan mencapai Rp30 ribu per kg. Karena lokasi pengolahan limbah masih sedikit, banyak yang mengolahnya secara ilegal. “Kebutuhan pengusaha pengolah limbah itu besar. Limbah medis ini kan tidak hanya dihasilkan dari rumah sakit. Ada juga puskesmas, klinik, spa, dan lainnya,” ujar Sinta, saat melakukan pemantauan pengangkutan limbah medis dari salah satu TPS liar di Desa Panguragan Wetan, Kamis lalu (21/12). Untuk limbah di Panguragan, diketahui masuk sejak tahun 2011. Pertama kali masuk, hanya selang-selang infus. Pemainnya adalah AG, warga setempat. AG mendapat limbah medis dari salah satu perusahan pengelolaan limbah di Karawang. Pada tahun 2014, dia TS, salah seorang oknum TNI. Masuknya TS bekerja sama dengan AG, membuat bisnis makin berkembang. TS membenahi manajemen yang awalnya kurang bagus sekaligus memberikan tambahan modal. Jenis limbah pun lebih banyak. Ada selang infus, ampul, jarum, dan lainnya. Hingga akhirnya, ada beberapa sub gudang dan tempat pemilahan limbah. Jumlahnya disebut ada 13, termasuk dua sub agen yang kecil-kecil. Di antaranya ada sub agen yang dimiliki oleh AG, NH, EN, SK, HR, JA. “Ada 11 titik yang besar, dan dua yang kecil. Tersebar di empat desa. Di Desa Panguragan Kulon ada enam, Desa Panguragan ada dua, Desa Pangurgan Wetan ada satu, Panguragan Lor ada empat,” ucap Hasan Suhendi dari paguyuban warga yang juga salah satu pengusaha rongsok di Panguragan. Dari penelusuran Radar Cirebon, limbah medis itu awalnya diangkut dengan kontainer. Setiap hari satu kontainer masuk wilayah Panguragan. Satu kontainer itu diperkirakan mengangkut limbah sekitar 2,5 ton. Pada tahun 2015, sempat terhenti karena ada sidak dari dinas lingkungan hidup. Beberapa barang bukti sempat dibawa. Tapi hanya terhenti satu bulan, bisnis itu kemudian berlanjut lagi. Dengan memakai cara yang lebih aman. Salah satunya cara pengangkutan yang awalnya dengan kontainer dari perusahaan, diganti dengan memakai jasa transportasi menggunakan truk. Dalam satu hari limbah yang masuk ke gudang bisa mencapai dua hingga tiga truk. Limbah medis itu disebut berasal dari 34 rumah sakit yang berada di Jawa dan Sumatera. Selisih antara harga beli dan harga jual limbah medis rupanya cukup besar. Limbah medis yang didapatkan itu dihargai sekitar Rp3.500 per kg. Kemudian bisa dijual dengan harga Rp13 ribu per kg. Setiap limbah yang datang ke gudang, para pekerja melakukan pemilihan barang sesuai dengan jenis bahan. Ada yang jenis selang, jarum, dan ampuls. Apabila kondisinya masih bagus, barang tersebut kemudian digiling dan dikluster, kemudian dikirim lagi untuk dijual. “Itu bisa dibuat untuk menjadi bahan barang-barang yang mengandung bahan dasar PVC (polivinil klorida) bisa dijadikan untuk pembuatan plastik dan lainnya,” ujar Hasan Suhendi. Terpisah, Kuwu (Kepala Desa) Panguragan Kulon, Nono Sugina mengaku dia baru tahu kalau pengelolaan limbah yang dilakukan di desanya itu berbahaya. Dia memang kerap menerima keluhan dari warganya terkait dengan dampak limbah yang membuat bau tak sedap hingga membuat mual. “Tapi karena urusan perut warga, kita biarkan. Hingga adanya gerakan kekompakan, masyarakat yang mengeluh, ya akhirnya terbongkar. Saya sendiri prihatin,” ujarnya. Di desanya ada sekitar tiga lokasi pengesub limbah medis. Salah satunya yang disegal KLHK dan Denpom TNI AD. Pihak Denpom TNI AD sendiri ikut turun menyelidiki kasus karena ada keterlibatan oknum TNI. Tempat yang disegel di Desa Panguragan Kulon merupakan bangunan baru. Saat membangun, Nono mengaku pihak pengusaha tidak pernah meminta izin ke pemdes. Dia juga mengaku tak sepeser pun pihak pengusaha memberikan kontribusi dan retribusi kepada desa. “Memang ada desakan juga dari warga yang bekerja di sana minta dibuka lagi. Alasannya mereka mau kerja apa. Tapi dari pegiat lingkungan dan warga juga meminta untuk ditutup,” ujarnya. Ya, setelah akhirnya terkuak, bisnis limbah medis di wilayah Panguragan memang akhirnya benar-benar ditutup. Bahkan Tim KLHK sudah mengangkut limbah medis dari salah satu TPS liar di Desa Panguragan Wetan. Sampai Minggu (24/12), tim dari Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PSLB3) mengangkut sampel sebanyak 1 kontainer yang diduga limbah B3 medis dan non-medis. Tim juga mengangkut sebaganya 32 truk bermuatan penuh tanah yang terkontamiasi limbah domestik untuk dimusnahkan. Limbah B3 medis di bagian atas diangkut kemudian dikirim ke Tempat Pengelolaan Limbah Medis di Cileungsi. Sebelumnya, pada proses pengangkutan hari pertama Kamis (21/12) , Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 KLHK, Sinta Saptarina Soemiarno mengatakan limbah yang berada di TPS itu menjadi prioritas lantaran bersentuhan langsung dengan masyarakat. Apalagi limbah tersebut berada di TPS liar yang tidak ada penanggungjawabnya. Limbah yang berada di TPS liar tersebut diperkirakan sekitar 200 meter kubik. Sementara untuk limbah yang masih berada di gudang, pihaknya mendesak kepada para pelaku atau pengusaha limbah medis untuk melakukan pemulihan dan pemusnahan. Terkait dengan waktu pemulihan lahan, Sinta mengatakan bakal dilakukan selama enam bulan sampai satu tahun untuk bisa mengembalikan lahan itu menjadi normal lagi. Ada treatment khusus seperti memberikan penggembur agar tanah bisa ditanami. “Sebenarnya pemulihan lahan juga bergantung jenis kontaminasinya. Kalau yang bersifat radioaktif itu jelas lama, dan butuh biaya besar. Jadi memang pelakunya juga harus bertanggungjawab. Tapi untuk sementara ini dalam darurat kita angkut saja dulu,” katanya. (jml)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: