Pak Ogah Ini Sisihkan Pendapatan Hasil Atur Lalu Lintas untuk Infak Masjid

Pak Ogah Ini Sisihkan Pendapatan Hasil Atur Lalu Lintas untuk Infak Masjid

Pekerjaan sebagai pengatur lalu lintas (lalin) swasta atau beken disebut Pak Ogah, kerap dipandang sebelah mata oleh pengguna jalan. Bahkan tidak sedikit yang memandang negatif terhadap Pak Ogah. Namun pandangan itu berbeda jika melihat lebih dalam terhadap profesi Pak Ogah. AGUS PANTHER, KUNINGAN SUKA tidak suka, saat ini banyak pengatur lalin swasta di Kabupaten Kuningan yang memanfaatkan pertigaan maupun perempatan jalan untuk mengais rezeki. Bermodalkan rompi warna hijau daun, serta sepotong tongkat yang diujungnya dipasang bendera, Pak Ogah memulai pekerjaannya mengatur lalin sejak pagi hingga malam. Biasanya mereka berkelompok lebih dari satu orang. Pengguna jalan yang mendapatkan jasanya akan memberikan uang receh antara Rp 1.000 sampai Rp 2 ribu. Terkadang ada sopir truk atau angkutan umum yang memberikan sebatang rokok kepada Pak Ogah. Jika biasanya pendapatan dari mengatur lalin dibagi bersama, dan dibawa pulang untuk keluarganya, kondisi ini berbeda dengan Pak Ogah yang mengatur lalin di pertigaan Garatengah, Kecamatan Japara. Para remaja yang dikoordinir tokoh pemuda setempat itu memiliki ritme kerja yang sedikit profesional. Saat bekerja, mereka juga memilih untuk fokus mengatur lalin agar tidak terjadi kecelakaan lalu lintas. Sebuah jala yang digunakan untuk menampung receh dari pengguna jalan, dipasang di ujung pertigaan jalan. Sejak pukul enam pagi, para remaja itu sudah bekerja. Mereka menggunakan sistem sift yakni satu jam aplusan. Sistem ini digunakan untuk memberikan rasa adil kepada para remaja yang bekerja sebagai Pak Ogah. Sift pertama bertanggung jawab menghitung uang pendapatan dalam satu jam. “Kami sudah sejak awal menerapkan sistem sift ini. Tujuannya menghindari kecemburuan sesama anak-anak yang bekerja mengatur lalin,” terang Syarif, tokoh pemuda Sangkanmulya, Kecamatan Cigandamekar. Sejak diberlakukannya sistem sift, kata dia, nyaris tidak ada komplain atau protes dari para pengatur lalin. Terlebih uang yang terkumpul kemudian dihitung bersama setiap siftnya. “Ketika usai bertugas, uang yang diberikan pengguna jalan lalu dihitung bersama di pos yang kami bangun. Kami juga memasang papan tulis. Petugas usai berjaga, wajib menghitung dan mencatatkan pendapatannya di papan tulis. Misalnya di jam pertama mendapatkan Rp 24 ribu, maka harus ditulis. Begitu juga yang bertugas di jam kedua, ketiga dan seterusnya,” paparnya. Syarif juga menjelaskan, jika uang hasil pendapatan dari mengatur lalin dibagikan ketika mau pulang. Tak lupa, mereka menyisihkan uang pendapatan sehari untuk infaq ke masjid. Penyisihan uang untuk infaq ke masjid rutin dilakukan setiap harinya. “Dari hasil mengatur lalin, kami bisa berinfaq ke masjid di desa paling besar Rp 1,5 juta dan disesuaikan dengan pendapatan. Bahkan kami juga menyumbang untuk kegiatan Agustusan. Kami dan anak-anak di sini hanya ingin bisa bekerja, sekaligus beribadah. Jadi, uang yang didapat tidak semuanya dibawa pulang melainkan untuk infaq dan juga disisihkan untuk kegiatan lain,” ujarnya diamini para remaja pengatur lalin. Pihaknya juga mewanti-wanti para remaja binaannya untuk tidak memaksa ketika mengatur lalin. Jika pengguna jalan tidak memberikan uang, tidak perlu dipikirkan. “Selama menjadi pengatur lalin, saya selalu tekankan kepada anak-anak untuk tidak memaksa. Kalau memang rezeki, pasti nggak bakal kemana. Selain itu, anak-anak juga kerap membantu korban kecelakaan di ruas jalan ini. Alhamdulillah anak-anak selalu nurut. Mereka bekerja sambil beribadah,” sebut Syarif. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: