Sebulan, Dua Pilot Tersangkut Narkoba

Sebulan, Dua Pilot Tersangkut Narkoba

  JAKARTA - Kasus pilot mengonsumsi narkoba, kembali terungkap di Indonesia. Dalam sebulan ini saja, ada dua pilot yang tersangkut barang haram itu. Yang terakhir, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Kepri menangkap pilot maskapai Malindo Air, Ahmad Syahman bin Shaharuddin lantaran kedapatan membawa sabu seberat 1,9 gram dan dinyatakan positif menggunakan narkoba jenis sabu, Sabtu (30/12). Kepastian tersebut didapatkan setelah hasil pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh petugas kepada pilot Ahmad. \"Setelah kita amankan, selanjutnya kita lakukan pemeriksaan lanjutan di BNNP, dan hasilnya positif menggunakan sabu,\" ucap Bubung Pramiadi, Kabid Berantas BNNP Kepri, Sabtu (30/12). Saat ini, pilot asal Malaysia yang sebelumnya membawa 44 penumpang dari Subang, Malaysia menuju Batam tersebut, telah diamankan di kantor BNNP Kepri di Nongsa, Batam. Pihaknya akan menjerat pilot tersebut dengan UU tentang narkotika. \"Pilotnya sudah kita amankan dan akan kita mintai pertanggungjawaban,\" tegasnya. Ahmad awalnya sempat menolak diperiksa dan masuk ke toilet bandara dan diduga membuang barang bukti. Namun, petugas berhasil mengamankan barang bukti berupa alat hisap dan aluminium foil dari tangan Ahmad. CARI AKAR MASALAH Anggota Ombudsman yang juga pemerhati penerbangan Alvin Lie menuturkan, pendekatan sanksi saja tidak cukup untuk membuat persoalan narkoba di kalangan pilot mereda. Saat ini pun, dia sedang membahasnya secara khusus dengan kepala Balai Kesehatan Penerbangan. ’’Kita perlu menyelidiki lebih lanjut, apakah ada kondisi di lingkungan kerja pilot yang memicu untuk mencari pelarian ke narkoba atau minuman keras,’’ terangnya saat dikonfirmasi kemarin. Apakah kondisi lingkungan kerja itu mengakibatkan stress pada pilot misalnya, itu harus diperiksa lebih detail. Sebab, akar persoalannya ada di situ. Apakah gaya hidup juga bisa memicu penggunaan narkoba, Alvin tidak memungkiri. Namun, tentu juga ada pemicu mengapa pilot bisa menjalani gaya hidup yang negatif. Karena itu, selain berbicara dengan balai kesehatan penerbangan, Alvin menyatakan bakal berdiskusi dengan asosiasi pilot maupun para pilot senior. Akar permasalahan harus segera ditemukan, sehingga ada solusi yang bisa dihasilkan. ’’Kita tidak bisa hanya pendekatan hukum. Nanti dipecat, masuk rehabilitasi, atau bahkan dipenjara, tapi tidak menyelesaikan masalahnya,’’ lanjut Alvin. Disinggung kemungkinan jam terbang yang terlalu padat sebagai pemicu, Alvin mengatakan tidak menutup kemungkinan. Padatnya jam terbang tidak boleh diabaikan. Terlebih pada peak season seperti saat ini, karena bertepatan dengan momen Natal dan tahun baru. Sebagai gambaran, beberapa pekan terakhir di Bandara Soekarno-Hatta ada 15-16 antrean pesawat dalam satu waktu. Kemudian, ketika sampai bandara tujuan, masih harus antre lagi sehingga berputar-putar di udara. ’’Nah, itu kan menambah stres juga. Kemungkinan ya,’’ tambahnya. Karena itu, pihaknya harus mencari tahu apa masalahnya, sehingga bisa mencari solusinya. Tidak hanya sekadar menyalahkan. Belum lama ini, Jawa Pos (Radar Cirebon Group) juga sempat melakukan wawancara dengan Ketua Umum Ikatan Pilot Indonesia (IPI) Bambang Adisurya Angkasa. Wawancara membahas secara khusus mengenai banyaknya kejadian pilot yang tertangkap menggunakan narkotika. Menurut Bambang, kejadian yang bukan kali pertama itu bukan hanya soal beban kerja yang berat. Namun, pengawasan pemerintah yang dinilai lemah. Bambang membenarkan jika tekanan kerja seorang pilot cukup tinggi. Seorang pilot, sesuai dengan aturan pemerintah Indonesia, dalam seminggu diberikan waktu maksimal terbang sejumlah 30 jam. Untuk satu bulan, tidak boleh lebih dari 110 jam. Sedangkan satu tahun jumlah toleransi maksimal terbang tidak lebih dari 1.050 jam. ”Namun, namanya maling tidak ada yang mengaku,” jawab pria 42 tahun itu ketika ditanya apakah ada pelanggaran jam terbang. Kalau pun tidak melanggar, menurut Bambang masih ada hal yang terlewatkan. ”Apakah regulator (Kemenhub, red) mengawasi sampai detail?” katanya. Yang dimaksud Bambang adalah terkait jumlah jam terbang selama satu tahun. Jika perbulan tak lebih 110 jam terbang, namun jika rutin dilakukan hingga satu tahun atau 12 bulan, maka jumlah jam terbang per tahun akan melebihi batas. ”Coba perhatikan kenapa kejadian seperti itu (penangkapan narkotika) sering terjadi di Desember?” imbuhnya. Jika memang pilot mengalami kelebihan jam terbang, menurut Capten pesawat Boeing 777-300ER bisa menyebabkan fatigue atau kelelahan melebihi batas normal. Bisanya fatigue menyerang psikis dan tidak disadari oleh yang bersangkutan. Walaupun demikian, Bambang membantah jika kelelahan tersebut menyebabkan pilot menggunakan narkotika. ”Namun tidak dipungkiri jika seseorang mengalami masalah ditambah beban pekerjaan yang cukup berat akan beralih ke hal negatif,” ucapnya. Pengawasan pemerintah ini berperan penting dalam mengeliminasi perilaku negatif pilot yang akhirnya mempengaruhi keselamatan penerbangan. Namun menurut Bambang, pengawasan tersebut belum dilakukan dengan baik. ”Itu tidak perlu saya jelaskan. Masyarakat umum sudah bisa membaca sendiri. Kejadian ini bisa menjadi referensi pengawasannya bagaimana?” ucapnya. Dia mengatakan, jika pemerintah harus konsisten melakukan random drug and alcohol test. Tidak hanya dilakukan secara sendiri-sendiri, namun harus bekerja sama dengan BNN dan organisasi profesi. ”Random test ini dilakukan terus. Misal saat libur, diambil 10 orang dari masing-masing maskapai lalu dites,” ungkapnya. Apabila ditemukan indikasi penggunaan narkotika, menurutnya pilot itu harus membuat pakta integritas. Kalau yang bersangkutan ternyata mengulang, maka dilakukan tindakan tegas. ”Atau temuannya sedang masa tugas harus ditindak tegas juga,” ungkapnya. ”Kalau selama ini belum sesuai, sekarang random test-nya itu berupa sidak yang dilakukan BNN kerjasama dengan polisi,” beber Bambang. Cara itu dianggap bisa memberikan dampak negatif seperti mencermarkan nama maskapai. Terpisah, Presiden Direktur Lion Air Group Edward Sirait menyebutkan bahwa pihaknya secara tegas memberlakukan larangan penggunaan narkoba di perusahaannya. ”Dari undang-undang kita saja sudah jelas melarang. Maka kita juga secara tegas mengadopsinya di perusahaan. Tak hanya kru penerbang, tapi semua staf perusahaan,” tegas Edward, tadi malam (30/12). Edward mengungkapkan, perusahaannya telah melakukan pencegahan berlapis untuk menghindari kasus kru penerbang menggunakan narkoba. Pengamanan yang dimaksudkan Edward adalah misalnya penolakan secara tegas saat rekrutmen jika calon penerbang kedapatan pernah menjadi pecandu. Lalu medical checkup rutin setiap enam bulan sekali untuk semua kru penerbangan. Kemudian, tes internal yang dilakukan setiap bulan di tempat-tempat berbeda yang juga melibatkan BNN. Ditambah lagi, lanjut Edward, secara masif perusahaannya selalu memberi reminder berupa spanduk dan tulisan-tulisan yang berisi tentang larangan narkoba di setiap ruang belajar pilot pemula dan ruang briefing pilot. ”Untuk sanksinya pun kami segan-segan mengeluarkan pilot jika memang terbukti mengkonsumsi narkoba. Kita tetap ada asas bertahap, artinya ketika semua masih dalam proses pemeriksaan, sanksinya adalah tidak kita terbangkan. Tapi kalau sudah terbukti akan langsung kami keluarkan, seperti kasus di Kupang lalu,” ujar Edward. Dengan upaya berlapis tersebut, Edward menyebutkan bahwa narkoba adalah persoalan perseorangan yang susah untuk dikontrol secara penuh oleh perusahaan. ”Kita kan tidak pernah tahu. Ada banyak faktor yang membuat mereka dekat dengan narkoba. Sejujurnya kami juga tidak mau ada kejadian seperti itu, kami juga takut,” ungkapnya. Jika dikaitkan dengan persoalan jam terbang pilot yang disebut over, sehingga menyebabkan pilot stres, Edward membantah hal tersebut. ”Selama ini pengawasan jam terbang berjalan dengan baik. Secara akumulasi satu tahun tidak boleh melebihi 1050 jam. Dan pasti pilot juga tidak mau jika lebih dari itu. Karena selain sanksi dari maskapai, license terbangnya dapat dicabut regulator,” beber Edward. Lion Air sebagai memegang saham di Malindo Air, yakin bahwa grupnya tersebut juga menerapkan hal yang sama. Baik dalam hal pengawasan dan sanksi terharap kru penerbangan yang mengkonsumsi narkoba. ”Saya rasa sama standarnya. Di sana (Malindo Air), medical check up juga dilakukan rutin,” ujar Edward. Terkait sanksi, Edward menyebutkan Malindo Air siap memberikan sanksi tegas berupa pemecatan pilot jika sudah terbukti bersalah. ”Saya tidak bisa berbicara sebagai posisi Malindo Air, tapi sebagai pemegang saham kami tegaskan bahwa kami ingin pilot bersangkutan dikeluarkan jika memang terbukti. Dan kami juga sudah mendengar dari Malindo, bahwa mereka juga akan melakukan hal yang sama (mengeluarkan pilot). Saya pribadi yakin mereka akan memecat,” tambah Edward. Untuk diketahui, sebelum kasus ini, pada Senin (4/12) lalu, Satnarkoba Polres Kupang Kota juga menciduk pilot Lion Air berinisial MS di kamar Hotel T-more, Kupang, dengan barang bukti berupa sabu-sabu seberat 0,3 gram. MS merupakan pilot senior dan mulai berkiprah di Lion Air sejak 2014. (byu/lyn/agf)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: