Cagar Budaya Itu Identitas Cirebon

Cagar Budaya Itu Identitas Cirebon

Perlindungan cagar budaya memasuki fase kelam. Kota Cirebon bahkan belum memiliki peraturan daerah (perda) yang khusus mengatur perlindungan cagar budaya. Anggota DPRD sebenarnya sudah merancang aturan itu, tapi seperti hilang ditelan bumi. Tak ada kabar beritanya lagi. ======================= PUBLIK Cirebon, khususnya para budayawan, tiba-tiba marah. Protes keras dilayangkan ke Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan (BKPP) Wilayah III Provinsi Jawa Barat yang selama ini menempati Gedung Negara di Krucuk. Mengganti lantai marmer di tangga depan Gedung Negara Krucuk dengan batu alam adalah penyebabnya. Dari kejadian itu, banyak pihak kembali bersuara agar ada upaya penyelamatan bangunan-bangunan penuh sejarah yang masih bertahan di Kota Cirebon. Baik peninggalan zaman Sunan Gunung Jati maupun era kolonial Belanda. Seperti diketahui, meski masih bertahan, tapi bangunan-bangunan tersebut banyak yang beralih fungsi. Ada yang kini menjadi mall, hotel-hotel, kantor bank, atau yang lainnya yang benar-benar hilang karena diganti dengan bangunan lain. Sejarawan Cirebon, Rafan S Hasyim mengatakan perlu kerja sama semua pihak untuk menjaga kelesatrain cagar budaya agar tetap bisa lestari. Menghilangkan cagar budaya, kata dia, sama halnya mencerabut identitas Cirebon. Saat era kolonial Belanda banyak bangunan berarsitektur art deco. Seperti gedung British American Tobacco (BAT), gedung Bank Indonesia (BI), gedung Bank Mandiri, hingga Gereja Santo Yusuf. Mayoritas berdiri di kawasan Jl Yos Sudarso, Kota Cirebon. \"Akan sangat payah kalau kita diam saja. Kita hanya bergerak sebagai kota dagang. Pemerintah harus putar otak, jangan sampai kawasan ekonomi membuat kawasan budaya menjadi tergerus,\" tandas pria lulusan Doktor Filologi Unpad Bandung itu saat diwawancara Radar Cirebon. Menurutnya, ada bebebrapa benda cagar budaya yang hilang tak berbekas. Itu terjadi karena minimnya upaya pemerintah dalam menjaga cagar budaya. Sebut saja gedung bekas resimen yang juga Rumah Mayor Tan Tji Kie yang saat ini menjadi Jogja Baru. Ada juga gedung tipe kolonial yang kemudian menjadi markas polwil. Lalu saat ini berubah menjadi kawasan toko swalayan di Jl Karanggetas. Dan masih banyak lagi yang lainnya. \"Sebetulnya bangunan-bangunan itu sudah dilindungi UU Cagar Budaya. Tapi karena pejabat merasa dia yang mengelola dan menguasi, sehingga bertindak semaunya,\" jelasnya. Pria yang akrab disapa Opan itu mengatakan pemeliharaan cagar budaya bukan tanggungjawab pemerintah saja. Masyarakat juga ikut menjaganya. Hal itu sebagai salah satu upaya menjaga kelestarian sejarah dan budaya. \"Karena pemerintah lalai, maka masyarakat yang harus kritis. Kalau kita gak kritis, ya sudah selesai. Memelihara itu jangan tergantung orang lain. kita mulai diri sendiri.Mmenunggu pemerintah menindak lewat proses hukum, saya pesimis,\" jelasnya. Belanda, sambung dia, rajin membangun, terutama setelah tuntas perang Kedondong dan wafatnya Pangeran Suryanegara sekitar 1870-an. Mulai dari Gedung Kresidenan (saat ini disebut Gedung Negara), Kantor Pos Cirebon, beberapa bangunan gereja, gedung bank, kawasan pelabuhan, pabrik rokok, serta gudang gudang. Terpisah, Ketua Komunitas Amparan Jati Cirebon, Akbarudin Sucipto mengatakan perlu adanya kemauan keras dari pemimpin daerah untuk menjaga cagar budaya. Dia mengatakan, saat ini Kota Cirebon belum memiliki perda cagar budaya. \"Cagar budaya itu kan sebetulnya tidak asal tua. Tapi punya nilai sejarah, nilai pengetahuan sosial kolektif,\" katanya. Menurutnya, gedung-gedung yang dibangun Belanda memang untuk kepentingan mereka saat itu. Yang saat itu sudah makin banyak tinggal di Kota Cirebon. Apalagi posisi wilayah ini yang memiliki pelabuhan. Misalnya, pembangunan Kantor Pos. Dia mengatakan itu dibangun untuk kepentingan surat menyurat masyarakat Eropa kala itu. Begitu juga pembangunan stasiun kereta api. \"Mana ada waktu itu masyarakat lokal yang bisa tulis menulis,\" ucapnya. Di lihat dari sejarahnya, kata Akbar, kawasan pemerintahan Belanda saat itu mulai membangun kawasan kota lama di wilayah pesisir pelabuhan, tepatnya di Lapangan Kebumen. Lokasi itu menjadi pusat kawasan kota lama yang pernah ada gedung eresidenan. Di area sana juga merupakan area perkantoran, yang sekarang ditempati oleh SMPN 14 dan 16 Kota Cirebon. Pada tahun 1890-an, mulai adanya pemindahan kawasan kota lama ke kota baru, yang berlokasi di Jl Siliwangi. Itu setelah adanya benteng yang runtuh di area kresidenan di Kebumen. Dengan adanya pembangunan Balaikota Cirebon, kemudian juga membangun Gedung Kresidenan di Krucuk yang dulu merupakan rumah dinas kresidenan. Konsep tata kelola Belanda, sebut Akbar, meniru tata kelola Kota Schwerin di Jerman. Hal ini terindikasi dengan Ratu Wilhelmina yang berkuasa di Belanda, pernah datang ke CIrebon dengan Pangeran Phiplips yang berasal dari Kota Schwerin. Saat datang ke Cirebon, Pangeran Philips menyebut Kota Cirebon mirip dengan kampung halamnnya. Sehingga kemudian menginspirasi pembangunan gedung-gedung di Kota Cirebon. Hal itu, sambung Akbar, bisa dilihat dengan adanya slogan Aspera Ad Astra yang berada di Balaikota Cirebon, yang berarti dari Onak Duri Muncullah Bintang. Dengan latar belakang banyaknya bangunan cagar budaya tersebut, lanjut Akbar, sudah seharusnya Kota Cirebon memiliki regulasi mengenai cagar budaya. Hal inilah yang menjadi suatu kelemahan di Kota Cirebon yang belum memiliki perda yang mengatur secara khusus tentang perlindungan cagar budaya. Keberadaan perda sangat penting agar secara terperinci benda-benda peninggalan sejarah ataupun benda-benda yang baru diduga sebagai benda cagar budaya maupun sebagai situs bisa dilindungi. Apalagi Gedung Negara di Krucuk. Perda tentu saja harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang terkait. Bisa dari Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Hal ini akan mengikat banyaknya situs peninggalan sejarah dan budaya yang tersebar di Kota Cirebon. \"Sehingga kalau ada perusakan cagar budaya, harus diproses hukum. Supaya ada efek jera, sehingga tidak terjadi lagi,\" jelasnya. DPRD Kota Cirebon sendiri sudah menggodok keberadaan rancangan perda cagar budaya. Bahkan sudah masuk prolegda. Akan tetapi hingga kini belum terdengar lagi. “Rancangannya sudah masuk prolegda (program legislatif daerah, red),” ujar anggota Komisi C DPRD Kota Cirebon, Jafarudin. Jafar menilai, Perda Cagar Budaya sangat penting untuk menghindari tindakan alih fungsi. Seperti halnya kejadian pembongkaran dan pemindahan makam Ki Gede Suradinaya beberapa waktu lalu. Menurutnya, keberadaan Perda Cagar Budaya akan memberi kepastian bila pemerintah akan memperhatikan sejumlah bangunan peninggalan masa lalu, baik itu situs-situs ataupun bangunan kuno. Jafar juga menyarankan dinas terkait dalam hal ini Dinas Kepemudaan Olahraga dan Kebudayaan Pariwisata (DKOKP) mencatat seluruh situs cagar budaya yang ada di Kota Cirebon. “Ajak budayawan dan sejarawan untuk mendapatkan bukti dan data-data sejarah yang kuat,” sarannya. Selain itu, lanjut Jafar, Perda Cagar Budaya juga diharapkan berpengaruh pada kunjungan wisatawan. Pasalnya, kata Jafar, Kota Cirebon memiliki banyak cagar budaya yang menarik para wisatawan. “Nah di sini pemerintah berkewajiban untuk memelihara. Jangankan situs yang sudah tercatat, tapi juga baru yang diduga cafar budaya harus dipelihara. Karena budaya adalah salah satu yang menjadi fokus pengembangan pariwisata di Kota Cirebon,” tandas Jafar. (jml)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: