Efek Debu Batu Bara, Warga Ngeluh Gatal dan Panas

Efek Debu Batu Bara, Warga Ngeluh Gatal dan Panas

CIREBON–Kaslani (50) kerap merasa sesak. Udara di tempat tinggalnya terindikasi tercemar debu batubara. Indikator pencemaran itu memang belum pernah diperiksa dengan alat ukur kualitas udara. Tetapi, gejala-gejalanya bisa tampak dengan mata telanjang. Kampung Pesisir, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, lokasinya memang berdekatan dengan Pelabuhan Cirebon. Kediaman Kaslani tepat di bibir Sungai Sukalila. Hanya beberapa ratus meter saja dari jaring pengaman debu setinggi 20 meter. Belakangan, paparan debu memang tak separah dulu. Tapi kampungnya belum bebas dari pencemaran. \"Kalau lagi nyapu, lantai pada hitam,\" tukas Kaslani kepada Radar Cirebon. Dampak debu ini hanya dirasakan sewaktu-waktu. Terutama saat aktivitas bongkar muat lagi ramai. Biasanya sore hingga malam hari tongkang yang merapat ke pelabuhan melakukan bongkar muatan. Meksi ada jaring pengaman, pengaruhnya tak banyak. \"Ayah saya terutama itu sudah merasa sesak,\" ungkapnya. Dampak batu bara juga biasanya dirasakan pada kulit. Kadang terasa gatal dan panas. Kaslani paham betul masalah kulit yang disebabkan emas hitam. Dulu, dia pernah menjadi pemulung batubara. Gatal dan panas jadi masalah kulit yang sehari-hari ia rasakan. “Rasanya sama. Gatal, panas gitu,” tutur Kaslani yang kini membuka warung rumahan itu. Kondisi cuaca kemarau dan angin kencang tak dipungkiri membuat sebaran debu batubara lebih luas. Area di sekitar pelabuhan juga ikut merasakan dampaknya. Sayangnya, upaya pemantauan kualitas udara sendiri belum bisa dilakukan. Padahal, perangkat tersebut merupakan bagian dari kesepakatan antara pemerintah kota dan Pelindo II Cirebon. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Drs H RM Abdullah Syukur MSi berharap, PT Pelindo II Cirebon mematuhi ketentuan itu. Tujuannya ialah mengawasi kualitas udara atau yang berhubungan dengan lingkungan hidup. “Ini dulu pernah dijanjikan. Alat itu yang jadi tolak ukur evaluasi aktivitas batubara,” tuturnya. Syukur mengakui, pengukuran kualitas udara di kawasan Pelabuhan Cirebon, bukan kewenangan pemerintah daerah. Ada tim tersendiri dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tapi bukan berarti pengawasan terhadap ambang batas dan kualitas udara tidak boleh dilakukan di daerah. Keberadaan alat ini sangat penting bagi masyarakat. Juga lingkungan di kawasan pesisir. Sehingga bisa dilakukan upaya-upaya bila diketahui ambang batasnya. Apabila kualitas udara sudah berada pada posisi merah, bongkar muat bisa dikurangi. “Ini penting. Nggak boleh dianggap remeh,” katanya. Di lain pihak, Humas Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Klas II Cirebon Dany Jaelani  meminta Perusahaan Bongkar Muat (PBM) batubara memperketat Standar Operasional Prosedur (SOP). Apalagi sudah ada pakta integritas yang ditandatangi dengan Pelindo II dan PBM. “Ini harus jadi perhatian. Bagaimana kita aktivitas jalan, tapi minim debu,” ujar Dany. Pakta Integritas itu berisi SOP bongkar muat. Dany tak membeberkan detilnya. Tetapi disebutkan bahwa SOP menjadi standar dalam penanganan mulai dari bongkar hingga pengangkutan. Sebelumnya, Deputi General Manager Komersial PT Pelindo II Cabang Cirebon Ardiansyah menegaskan, aktivitas pelayanan bongkar muat di pelabuhan merupakan amanat undang-undang. Termasuk komoditi batubara. Dari sisi penanganan debu, pihaknya sudah menerapkan standar operasional prosedur. Ini berlaku dari batubara masih di tongkang hingga diangkut ke truk. Sejauh ini upaya sudah dilakukan maksimal. Tetapi faktor cuaca menjadi penyebab dampak debu ini dirasakan kembali masyarakat. \"Angin ini kan tidak bisa ditebak,\" ucapnya. Terkait dengan pelaksanaan SOP, Ardian menilai hal itu merupakan kewenangan KSOP dalam pengawasannya. Sebab, Pelindo merupakan operator dan pemberi pelayanan di pelabuhan. \"Wasitnya KSOP. Kalau ada perusahaan yang lalai, ya ditegur. Termasuk pelindo,\" terangnya.(jml)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: