Mengenal Thalasemia, Penyakit Genetika Kelainan Darah

Mengenal Thalasemia, Penyakit Genetika Kelainan Darah

Istilah bibit, bebet, bobot, mahfum terdengar untuk yang sedang cari pasangan. Dalam dalam dunia medis, ini juga dianjurkan. Terutama memerhatikan genetika suatu penyakit. Seperti thalassemia. APRIDISTA S RAMDHANI, Cirebon CUKUP mengagetkan ketika mengetaui jumlah pasien thalassemia di Kota Cirebon tak sedikit. Yang ikut dalam program pendampingan Pimpinan Daerah Aisyiyah saja, jumlahnya 114. Mereka berusia di bawah 10 tahun. Sementara yang berobat di Klinik Thalassemia Rumah Sakit Daerah (RSD) Gunung Jati, teracatat 80 penyandang. Itu terdiri dari 51 pasien usia anak-anak (0-14 tahun) dan sisanya 29 merupakan pasien dewasa. Apa itu thalassemia? Dokter Spesialis Anak RSD Gunung Jati, dr Taufan Prasetya SpA menjelaskan, thalassaemia termasuk penyakit atau kelainan pada darah yang diturunkan dari orang tua. Thalasemia ditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin yang disebabkan gangguan kemampuan tubuh untuk memproduksi sejenis protein yang disebut “rantai globin”. “Rantai globin inilah berperan sebagai bahan utama membentuk hemoglobin,” ujar Taufan, kepada Radar Cirebon. Hemoglobin merupakan protein yang  kaya akan zat besi yang berada di dalam sel darah merah. Hemoglobin berfungsi sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh yang dibutuhkan sebagai sumber energi. Apabila produksinya berkurang atau tidak ada, pasokan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh tidak dapat terpenuhi. Sehingga dapat mengganggu fungsi tubuh  dan tidak mampu lagi menjalankan aktifitasnya secara normal. \"Saat ini, menurut data yang dimiliki thalassemia adalah penyakita bawaan lahir,” jelasnya. Penyandang thalassemia bisa terlihat sejak lahir atau umumnya di bawah usia dua tahun. Gejala yang umum terlihat pada usia tersebut seperti sering pucat, gangguan perkembangan dan pertumbuhan, kerap sesak nafas karena hemoglobin turun. \"Umumnya anak thalassemia ini pertumbuhannya cukup pendek dan kurus serta lemas,\" terangnya. Dilihat dari klinisnya, thalassemia bisa dibedakan dalam tiga kategori, yakni mayor, intermediet, dan minor.  Thalassemia minor adalah seseorang pembawa sifat atau gen penyebab thalasemia mayor namun memiliki kondisi tubuh yang sehat. Mereka biasanya harus melakukan transfusi saat hb turun drastis. Kemudian intermediet adalah mereka yang kerap melakukan tranfusi secara rutin manakala sedang sakit atau minimal 3 bulan sekali. Sedangkan thalasemia mayor adalah pasien thalasemia yang terjadi karena diturunkan oleh kedua orang tua yang memiliki thalasemia minor dan kondisinya tergolong berbahaya. \"Pasien thalassemia ini sangat dianjurkan untuk menghindari dan batasi makanan kaya zat besi, seperti sayuran hijau dan perbanyak konsumsi makanan mengandung karbohidrat, protein hewani, dan lemak,\" paparnya. Saat ini, sebagian besar penyandang thallasemia di RSDGJ merupakan pasien thalassemia mayor. Rata-rata melakukan tranfusi sebulan sekali. Meski belum bisa disembuhkan, para pasien thalassemia ini harus mengonsumsi kelasi besi untuk dapat bertahan hidup. Terdapat beberapa jenis obat yakni pil atau tablet dan juga suntik. Para pasien thalassemia di Indonesia memiliki bekas suntikan yang menghitam di perut, tangan, atau paha. Bekas tersebut menandakan banyaknya suntikan yang mereka terima saat menjalani terapi pengeluaran zat besi yang berlebihan. Pengeluaran zat besi tentu perlu dilakukan oleh mereka, karena efek samping dari tranfusi darag tersebutlah yang menyebabkan terjadinya kelebihan zat besi. Zat yang tidak dapat dikeluarkan oleh tubuh secara alami. Bila tidak dikeluarkan, zat besi yang berlebihan itu bisa menumpuk di organ-organ dan jaringan tubuh. Setelah puluhan tahun lebih, penumpukkan zat besi akan mengakibatkan berbagai komplikasi, antara lain perkembangan tubuh terhambat, penyakit jantung dan liver, dan bahkan kematian. Gejala fisik pun bisa terlihat dengan jelas pada pasien thalassemia mayor. Di antaranya jidat (dahi) yang lebar dan memanjang, tulang pipi memaju dan hidung jadi telihat seperti pesek, agak hitam, dan perut agak maju. Untuk pengobatannya, dalam sekali berobat pasien thalassemia memerlukan biaya antara Rp 10-Rp 12 juta. Namun sejak 2017, RSGJ telah membuka klinik thalassemia dengan akses BPJS dan bisa menekan biaya pengobatan. \"Di sinilah, faktor kebijakan pemerintah, ekonomi, dan pendidikan orang tua yang harus berperan memerangi kondisi pasien thalasemia yang harus bisa membuat pasien thalassemia tersebut tetap semangat untuk bertahan hidup,\" jabarnya. Dalam memerangi thalassemia, di luar negeri sudah jauh lebih maju dari Indonesia. Angka hidup pasien thalasemia di sana bisa mencapai 40 tahun ke atas. Di Indonesia yang tercatat baru hingga 26 tahun. Bila dibandingkan dengan luar negeri, mereka sudah memiliki pencegahan yang dilakukan kepada calon pasien thalasemia dan beberapa negara yang sudah menerapkan deteksi dini. Bila terdiagnosa pasien thalasemia, akan diaborsi. Namun, di Indonesia jelas itu bukan hal yang bisa diterapkan. Beberapa cara bisa diterapkan guna menghindari timbulnya thalasemia ini. Seperti menghindari pernikahan keluarga dekat atau sesama penyandang thalasemia dan melakukan pemeriksaan genetik ketika hendak menikah. \"Mayoritas pasangan yang akan menikah hanya melakukan skrining hepatitis dan HIV, padahal screening genetika pun sangat penting,” tuturnya. Dengan screening ini, salah satu keluarga mengidap thalasemia, anggota keluarga pun dianjurkan melakukan tes serupa. Untuk mengetahui apakah ada gen bawaan thalassemia pada dirinya atau tidak. Sejak adanya klinik thalasemia di RSGJ 2017 lalu, baru baru ini dibentuklah Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassemia Indonesia (POPTI) Cabang Cirebon. Tentunya ini menjadi suatu supporting bagi para orang tua untuk mempertahankan kehidupan anaknya. Mereka baik pasien atau pun orang tua lebih bersemangat untuk melakukan tranfusi dan termotivasi untuk bisa bertahan hidup. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: