Warga Masih Keruk Pasir di Argasunya, Dilakukan Manual Mirip Gali Terowongan

Warga Masih Keruk Pasir di Argasunya, Dilakukan Manual Mirip Gali Terowongan

CIREBON-Sebenarnya aktivitas galian tipe c di Kelurahan Argasunya sudah ditutup. Payung hukumnya; Peraturan Walikota (Perwali) 16/2004. Memuat larangan aktivitas penambangan pasir. Di lapangan kondisinya tak demikian. Material pasir terus keluar. Diangkut truk dengan tonase di atas 5 ton. Aktivitas ini tetap berjalan berkat kebijakan. Dibolehkan selama pakai cara manual. Tapi ini seperti dua sisi mata uang. Membolehkan dengan mengabaikan keamanan baik pekerja maupun lingkungan . Pantauan Radar Cirebon, cara para penambang pasir ini mirip menggali terowongan. Bagian bawah tebing dikeruk. Sampai jadi cekungan. Yang sewaktu-waktu bisa longsor. Rotib salah satu yang turut bekerja di area itu. Menjadi kuli angkut. Yang membuatnya harus keluar masuk galian. Membawa material pasir dari dalam untuk kemudian dinaikan ke truk. “Kalau sudah urusan perut, gimana lagi. Kita butuh uang,” ujar Rotib kepada Radar Cirebon. Upahnya Rp80 ribu/hari. Penghasilan segitu, lumayan untuk ukuran Argasunya. Di wilayah itu, memang tak banyak yang bisa dikerjakan. Kalau tidak jadi kuli pasir, pilihan lain bekerja jadi pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kopi Luhur. Soal risiko longsor ini, Rotib menyebut, jarang terjadi di musim kemarau. Sebab, tanah relatif lebih stabil. Lain dengan musim hujan. Di mana akses jalan menuju lokasi galian juga terendam air. Apa yang diungkapkan Rotib benar. Dari catatan pemberitaan Radar Cirebon, kejadian kecelakaan selalu terjadi di musim hujan. Memasuki musim hujan, para penggali tak berani mengambil pasir dengan model itu. Hanya cari di tempat-tempat tertentu yang dirasa aman. Sayangnya, risiko kecelakaan akibat aktivitas galian ini juga tidak terdata dengan baik. Kapolsek Selatan-Timur, Kompol Suwitno SH mengaku tidak bisa memberikan data spesifik. \"Secara detil kami tidak memiliki data, mungkin ada kejadian tapi tidak dilaporkan,\" ucap Suwitno. Ketua RW 08 Kopi Luhur Suharja menyebutkan, aktivitas galian c di Argasunya sudah berjalan dari tahun 1970. Lahan galian sebagian besar milik perorangan. Sejauh ini, pihaknya sendiri masih menginventarisir pemilik lahan galian. Jumlahnya belum dapat diketahui. Suharja mengungkapkan, warga bukannya tidak mengetahui risiko bekerja di galian. Kecelakaan yang terjadi bukan sekali saja. Bahkan korban jiwa juga sudah banyak. Namun warga tetap bertahan karena tidak punya pilihan lain. \"Kalau di sini, kalau bukan kerja di  galian ya mulung sampah. Udah mau kemana lagi?” katanya. Pendataan serupa juga dilakukan Lurah Argasunya, Dudung Abdul Bari. Inventarisasi yang dilakukannya lebih kepada pemilik lahan. Sebab, tidak pernah ada dialog dengan pemilik lahan. Sementara untuk warga, hampir di setiap RW ada yang bekerja di galian c. (gus)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: