Ubah “Rumah Hantu” Jadi Tempat Ibadah

Ubah “Rumah Hantu” Jadi Tempat Ibadah

CIREBON-Jika kita melihat Klenteng Talang di Jalan Talang Nomor 2 Kota Cirebon, saat ini kondisinya sudah sangat nyaman, rapih dan berwibawa.  Namun, siapa sangka bangunan berusia 603 tahun itu sempat hampir menjadi rumah hantu. Rusak, kumuh, kotor dan tidak terawat. Di balik keindahan bangunan peninggalan tentara Cheng Ho itu, ada sosok Teddy Setiawan. Dialah yang mengubah Klenteng Talang dari “rumah hantu” menjadi tempat ibadah. Teddy bisa dikatakan sosok yang paling berpengaruh atas kondisi bangunan Klenteng hingga menjadi seperti saat ini. Bagaimana tidak, tanpa kerja kerasnya, bisa jadi Klenteng Talang masih menjadi bangunan tua kosong yang rapuh dan tidak berfungsi. “Karena saya sendiri orang Konghucu, merasa prihatin dengan perkembangan agama Konghucu di Kota Cirebon waktu itu,” tuturnya saat ditemui Radar Cirebon. Alumnus Akademi Bahasa Asing Bandung itu menceritakan, upayanya merawat saksi sejarah peradaban Kota Cirebon itu dimulai sekitar 14 tahun silam, ketika terjadi sengketa. Dimana, bangunan paviliun selatan yang berada persis di sisi kanan klenteng, akan dijadikan sebagai rumah duka atau tempat persemayaman jenazah. Bahkan, bangunan paviliun sudah dirobohkan untuk persiapan pembangunan rumah duka. Ia yang merasa terpanggil, mencoba mencegah hal tersebut. Agar bangunan berusia 603 tahun itu tetap utuh. Untungnya, Pemerintah Kota Cirebon, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, waktu itu juga menolak perubahan fungsi bangunan paviliun, dengan alasan klenteng yang awalnya bernama “Toa Lang” itu termasuk bangunan cagar budaya. “Itu bangunan (yang sekarang ada) baru (dibuat lagi), dulunya rata dengan tanah, kemudian kita bangun ulang,” tutur pria kelahiran 14 Agustus 1952 itu. Akhirnya, pembangunan rumah duka, batal dilakukan. Dan bangunan paviliun yang menjadi bagian penting dari sejarah keberadaan klenteng itu kembali berdiri. Belajar dari peristiwa tersebut, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (Makin) Kota Cirebon itu lantas bertekad mengembalikan fungsi bangunan yang pada awal berdirinya-masa penjelajahan Laksamana Cheng Ho-itu berfungsi sebagai kantor perwakilan dagang China. Caranya, dengan membersihkan seluruh bagian bangunan, membenahi kerusakan dan melakukan pengecatan ulang. “Dulu bangunan ini kumuh, kotor , tidak teurus lah, sumur juga masih rata dengan tanah dulu. Kita berusaha membenahi seluruhnya,” jelas kakek 5 cucu itu. Tembok yang rapuh, atap yang jebol, cat yang pudar hingga tiang yang keropos, satu persatu diperbaiki. Dengan cara gotong royong. Suami Kwee Hwie Kiok itu berusaha menggandeng seluruh warga Tionghoa di Kota Udang ini untuk menggalang donasi. “Saya tidak punya uang sama sekali waktu itu, akhirnya saya cari warga Tionghoa dan syukur banyak yang membantu,” kenang warga Jalan Kebon Pring Gang Petratean Timur Kecamatan Pekalipan Kota Cirebon itu. Ia masih mengingat, saat bangunan belum berfungsi, rupa klenteng persis seperti rumah hantu. Sunyi, dan hanya ada satu orang penunggu. Di halaman depan klenteng terdapat WC Umum yang digunakan warga sekitar untuk keperluan mandi dan buang air. Dari situlah, penjaga klenteng mendapatkan penghasilan. “Karena tidak ada yang merawat,” katanya lantas tersenyum. Kini, perlahan tapi pasti, Klenteng Talang berubah wujud dan menjadi lebih nyaman. Hampir setiap hari, umat Konghucu datang untuk sembahyang hingga belajar mendalami ajaran Shu Si, kitab suci umat Konghucu. Bahkan, tak jarang warga dari berbagai daerah datang berkunjung untuk melihat kondisi fisik Klenteng tertua kedua di Indonesia itu. Lebih jauh, hidup di lingkungan klenteng, sejatinya bukan hal baru bagi pria bernama Tionghoa Ciu Kong Giok itu, sebab, semasa kuliah di Kota Kembang pun ia sudah menjadi bagian dari pengurus klenteng. Ketika itu, ia turut menjadi pengajar kitab suci, melatih seni beladiri wushu hingga olahraga pernafasan Tai Chi. Aktivitas tersebut ia terus lakukan hingga saat menjadi pegawai salah satu bank swasta di Bandung.  “Dulu saya PP (pulang pergi, red) Cirebon Bandung, sampai akhirnya saya menikah dengan orang Cirebon dan menetap di sini tahun 1977,” imbuhnya. Setelah menetap di Cirebon, dirinya sudah tidak pernah ke Bandung lagi. Padahal ketiga anak dan 5 ucunya,  seluruhnya hidup di Bandung. “Kalau mereka disini si mungkin mereka yang akan menjadi generasi saya selanjutnya,” tuturnya. Klenteng Talang, memiliki tempat tersendiri di hati Teddy. Sebab, klenteng itu juga menjadi saksi ketika ia menghabiskan masa kecilnya di Kota Cirebon. Ia berharap, apa yang sudah diupayakannya dapat tetap dijaga generasi berikutnya. (day-mg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: