Hukum dan Masyarakat dalam Kepungan Teori Filsafat

Hukum dan Masyarakat dalam Kepungan Teori Filsafat

KETIKA Bakhrul Amal mengabarkan soal buku barunya, saya penasaran: kira-kira buku apa lagi yang bakal diterbitkan pengarang produktif ini. Jauh hari sebelumnya, di toko buku terkemuka di Pekanbaru, saya telah melihat bukunya yang mutakhir, Pengantar Hukum Tanah Nasional: Sejarah, Politik, dan Perkembangannya, bertengger manis pada deretan buku hukum. Ada sebentuk kekaguman saat melihat karya seorang yang kita kenal bertengger di rak-rak toko buku. Telah paripurna tugas seorang intelektual, saya kira, manakala ia berhasil menerbitkan sebuah buku yang merupakan produk pemikiran dan permenungan, buah karya peradaban. Lewat buku, seorang intelektual telah sukses mencatatkan namanya dalam gelanggang pemikiran dunia. Tak berapa lama setelah pengabaran itu, saya menerima buku ini, Hukum dan Masyarakat: Sejarah, Politik, dan Perkembangannya. Melihat kesamaan subjudul buku pengarang asal Cirebon ini dengan buku pertamanya, saya sempat berandai-andai, bisa jadi narasi kecil kedua buku sama atau kurang lebih sebangun, yakni pemandangan hukum dari kaca benggala sejarah dan politik. Namun itu andai-andai saya belaka, sebab saya belum sempat membaca buku pertama sobat saya ini, sehingga belum dapat memperbandingkannya. Buku Hukum dan Masyarakat ini istimewa karena dikarang oleh seorang yang kelak akan menjadi penegak hukum jempolan. Buku ini, demikian klaim pengarang, ditulis di suatu tempat di timur Indonesia (h. xvii), penugasan pertama pengarang sebagai seorang pengadil. Hanya sejarahlah yang nanti membuktikan, apakah tesis-tesis buku ini akan memengaruhi karier profesional sang pengadil ataukah sebaliknya: perjalanan karier profesional sang pengadillah yang memengaruhi sebagian atau seluruh tesis buku ini, sehingga nanti akan timbul semacam koreksi teoretis pada buku-buku selanjutnya. Apapun itu, bukan porsi tulisan ini untuk menerka praduga-praduga eksternal di luar isi buku Hukum dan Masyarakat ini. Di samping itu, bukan maksud tulisan ini pula untuk membocorkan seluruh gagasan penting buku ini dalam suatu tablet-siap-minum yang berpotensi menyubstitusi buku ini sendiri. Demi mengurangi kebocoran yang nirfaedah, saya hanya akan mengulas ide utama buku ini sejauh dengan tujuan untuk mengajukan kritik dan tanggapan. *** Pengarang membagi isi Hukum dan Masyarakat dalam empat kerangka utama: (1) definisi hukum, (2) hukum dan tempat, (3) hukum dan perkembangan zaman, dan (4) pertimbangan hukum. Saya tidak begitu mengerti pemilihan frasa yang membentuk empat kerangka utama itu. Dari empat kerangka utama, menurut hemat saya, hanya kerangka utama ketiga yang cocok dan pas dengan isinya, sementara yang lain terlalu simplistis untuk menaungi bahasan yang begitu luas. Namun demikian, demi memudahkan penelaahan, tulisan ini berusaha mengikuti alur kerangka utama yang telah dirintis oleh pengarang. Membaca bagian awal buku ini, akan segera tampak bahwa buku ini tidak dimaksudkan sebagai pengantar untuk mempelajari hukum atau ilmu hukum. Kendati pengarang memberi subjudul “Pengertian Hukum”, bukan pengertian yang akan kita peroleh dari situ. Alih-alih menjelaskan terlebih dahulu apa itu hukum, pengarang sekonyong-konyong mendeskripsikan situasi kekacauan hukum akibat pengabaian eksistensi masyarakat (h. 2) dan moralitas (h. 3—7), lalu beranjak ke awal mula terjadinya hukum (h. 20). Saya rasa, seorang pembaca mesti mempunyai modal pengetahuan hukum yang memadai sebelum memutuskan untuk mulai membaca buku ini. Tanpa modal pengetahuan hukum yang cukup, ia niscaya akan terombang-ambing dalam belantara teks dan tebaran sitasi yang seakan-akan membombardir bagian awal buku ini. Referensi yang digunakan pengarang memang demikian luas. Untuk memperkuat pemaparan di bagian awal, misalnya, pengarang mengerahkan antara lain Gustav Radbruch (di buku ini tertulis “Radbuch”), Frédéric Bastiat, Bertrand Russell, Slavoj Žižek, Lawrence M. Friedman, Franz Magnis-Suseno, K. Bertens, Samuel P. Huntington, Abraham Maslow, juga Awaludin Marwan dan Suteki. Namun, sitasi dan referensi itu mulai kendur daya bombardirnya saat pembaca tiba pada subjudul kedua bab pertama dan seterusnya tentang sumber hukum, tipe hukum, dan fungsi hukum, serta pembidangan civil law (system) dan common law (system). Sampai di bagian ini, pembaca akan merasakan suasana buku pengantar hukum pada umumnya yang minim rujukan dan dapat dipahami secara praktis tanpa terbebani uraian teoretis dan filosofis seperti pada bagian sebelumnya. Berbeda dengan bab pertama yang cenderung mengulas nilai-nilai filosofis dari hukum, bab kedua Hukum dan Masyarakat ini bernuansa hukum tata negara (constitutional law). Pembaca akan menjumpai uraian tentang yurisdiksi (h. 49), negara (h. 50—54), dan kewarganegaraan (h. 55—69). Bagian menarik dari bab ini adalah uraian pengarang mengenai pertautan antara hukum dan ideologi (h. 69—88). Saya nyaris gagal paham mengenai hubungan topik tersebut dengan judul bab kedua, “Hukum dan Tempat”. Menurut saya, topik hukum dan ideologi perlu diangkat menjadi bab tersendiri atau judul bab diubah sehingga tidak lagi sekadar hukum dan tempat yang terlalu sempit dan sumir maknanya. Subjudul “Macam-macam Ideologi” (h. 84—88) saya rasa juga kurang klop dengan isinya. Uraian tersebut seharusnya bersubjudul “Ideologi menurut Alan Cassels dan Terry Eagleton” karena pada kenyataannya bagian itu tidak menjabarkan macam-macam ideologi, tetapi hal ihwal ideologi menurut penulis Kanada dan teoretikus sastra dari Inggris tersebut. *** Saya nyaris tak hendak mengomentari bab ketiga karena menurut saya bagian ini adalah bagian yang paling pas dan seimbang antara judul, keragaman topik, penggunaan kutipan, dan uraian. Akan tetapi, subjudul “Hukum dan Pemilu” (h. 139—163) yang menguraikan sedikit teori tentang pemilihan umum serta sistem dan penyelenggaraan secara teknis pemilihan umum di Indonesia, menurut pendapat saya, agak dipaksakan untuk hadir dalam buku ini. Di bagian awal, pembaca telah disambut dengan uraian teoretis dan filosofis yang relatif njlimet sehingga kita lalu bersepakat bahwa buku Hukum dan Masyarakat ini adalah buku babon (masterpiece) ilmu hukum—bukan lagi pustaka hukum pada umumnya yang merupakan konversi dari peraturan perundang-undangan belaka. Namun, agaknya subjudul “Hukum dan Pemilu” itu dengan sukses telah meremukkan kesepakatan kita tersebut hingga berkeping-keping. Pemilihan frasa bagian terakhir buku ini, “Pertimbangan Hukum”, saya rasa cukup membingungkan apabila dikaitkan dengan satu mata rantai gagasan pada tiga bab sebelumnya. Subjudul “Kebijakan Hukum” (h. 183—204) pada bab ini juga lebih tepat bersanding dengan subjudul “Hukum dan Ideologi” pada bab sebelumnya. Sebab, bagian ini mengulas tentang otoritarianisme, utilitarianisme, libertarianisme, sosialisme, dan Pancasila: macam-macam ideologi yang dikenal dunia. Akhirulkalam, saat pertama kali membaca sampul buku Hukum dan Masyarakat ini, yang berkelebat di benak saya adalah bahwa dalam buku ini pasti akan bertebaran teori-teori dari para sosiolog, antropolog, dan psikolog—sekurang-kurangnya sosiolog hukum, antropolog hukum, dan psikolog hukum. Namun, bayangan saya itu rupanya terlalu muluk. Untunglah masih ada Soerjono Soekanto, Philip Selznick, Abraham Maslow, Reza Banakar, Richard Quinney, Steven Vago, dan Bradley Campbell dalam daftar pustaka buku ini—di tengah kepungan para filsuf beserta teori-teori filsafatnya. Dengan begitu, sebagai sebuah produk pemikiran, buku Hukum dan Masyarakat ini tidak kehilangan akar dan pijakan intertekstualnya. (*) *Penulis adalah Alumnus Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang   Judul                    : Hukum dan Masyarakat: Sejarah, Politik, dan Perkembangannya Pengarang          : Bakhrul Amal Penerbit              : Thafa Media, Yogyakarta Tebal                     : xx + 246 halaman Tahun                   : I, September 2018 Resensi                : AP Edi Atmaja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: