10 November, Diresmikan Monumen Perjuangan, Tak Sekadar Nama, Kenali Sejarahnya

10 November, Diresmikan Monumen Perjuangan, Tak Sekadar Nama, Kenali Sejarahnya

CIREBON-Jalan Perjuangan dan Monumen Perjuangan, tak sekadar nama. Didedikasikan untuk mengenang perjuangan rakyat Cirebon mempertahankan kemerdekaan. Diresmikan 10 November empat tahun yang lalu. Bertepatan dengan hari pahlawan. Satu-satunya monumen di Kota Cirebon tersebut, berdiri menghadap Jalan Perjuangan. Lokasinya memang kurang strategis. Visibilitasnya kurang baik, meski berada tepat di depan Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BP4D). Monumen ini diresmikan 10 November 2014 oleh Walikota Cirebon, Drs H Ano Sutrisno MM. Didedikasikan untuk menghayati perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Dalam monumen itu, terdapat lima buah patung, yang menggambarkan para pejuang dari berbagai unsur. Ada laskar pejuang, tentara militan, dan perempuan. Lima patung itu terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan. Dua patung perempuan sendiri, menggambarkan dua pejuang berbeda. Satu patung menggambarkan sosok tentara perempuan, dan satu lagi menggambarkan perempuan desa yang memakai kebaya sedang membawa bendera. Hal itu yang menggambarkan perjuangan saat itu dilakukan antara pemerintah dan masyarakat. Sementara ada juga relief di dinding monumen. Ada dua relief dengan ceritanya masing-masing. Pertama, menggambarkan saat adanya dua orang warga yang digantung di pohon, lalu ditembak dalam masa pendudukan sekutu. Relief kedua itu bercerita tentang perang terbuka agresi militer II. \"Kita berpatokan pada cerita itu,\" tukas Asep van Achim, pembuat monumen perjuangan. Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Cirebon Didi Supardi mengatakan lokasi Monumen Perjuangan memang punya nilai heroik. Ada dua sejarah yang terjadi di sana. Yaitu saat era pendudukan Jepang. Pejuang Indonesia ditembak mati oleh tentara Jepang. Ada 12 orang yang meninggal. Peristiwa kedua yakni, perjuangan Laskar Kancil Merah yang dikomandoi oleh Mahmud Pasha, melawan belanda dan tentara NICA. \"Ini yang masih minim literaturnya. Pemerintah harusnya punya atensi. Supaya remaja punya dasar pengetahuan sejarah,\" tukasnya. Sebenarnya rencana pembangunan Monumen Perjuangan tidak di lokasi itu. Melainkan di lahan yang ditempati Kantor BP4D. Lokasi ini sudah diproyeksikan sejak LVRI dijabat alm Kusnan Setiamiharja. Selain monumen, mestinya juga ada museum yang  bisa menggambarkan sejarah perjuangan rakyat Cirebon. \"Di Cirebon yang menonjol itu sejarah keraton, sementara sejarah perjuangan rakyat Cirebon itu kurang terekspos. Masyarakat tidak tahu sejarahnya,\" ucapnya. Lokasi ini tidak sekadar dipilih. Pertempuran itu memang terjadi di Jl Perjuangan, April 1947. Pejuang Cirebon berperang dengan kekuatan tidak seimbang. Gugur di lokasi itu. Kejadian ini sayangnya belum tercatat sejarah. Sehingga keberadaan monumen menjadi sangat strategis. Sejauh ini, Kota Cirebon memang baru memiliki Monumen Perjuangan. LVRI juga pernah mengusulkan Monumen Samadikun. Sayangnya, belum ada rencana mendekati realisasi. Padahal, perjuangan rakyat di lingkup lokal ini tidak kalah penting untuk mendapatkan perhatian. “Cirebon itu punya peran besar dalam perang kemerdekaan. Tapi perjuangan rakyat Cirebon belum terdokumentasi dengan baik,” katanya. Dengan diketahui oleh masyarakat, diharapkan kisah-kisah perjuangan ini dapat menjadi refleksi bagi generasi penerus. Bagaimana mengisi kemerdekaan yang dengan susah payah direbut dan dipertahankan. Sejarahwan Cirebon, Mustaqim Asteja menyebutkan, semasa perjuangan ada banyak laskar yang dibentuk untuk melakukan perlawanan. Salah satunya Laskar Kancil Merah yang melebur dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Saat itu Jalan Evakuasi dan Jalan Perjuangan menjadi medan pertempuran. Kenapa demikian, karena memang pertempuran adanya di pinggiran kota. Dinamai Jalan Evakuasi karena digunakan oleh para tentara melarikan diri. Sementara Jl Perjuangan, adalah medan pertempurannya. Ada juga Jalan Tentara Pelajar yang dulu merupakan markas Tentara Pelajar. Kemudian ada juga nama Jalan Merdeka di Lemahwungkuk. Dulu di situ pusat Pemerintahan Belanda. Dengan adanya kemerdekaan diganti menjadi Jalan Merdeka. Saat Belanda berkuasa, namanya Land Eijken. Sesuai dengan nama tokoh yang membuat kawasan itu. “Memang ini perlu digali lagi. Supaya masyarakat mengetahui, bahwa nama-nama itu tidak sekadar nama. Ada perjuangan di balik itu,” tukasnya. Bila tidak digali, ia khawatir ke depan artefak ini hilang. Seiring dengan perkembangan kota. Misalnya di depan Grage Mall. Di situ dulu ada lapangan tempat Bung Karno melakukan apel besar. Yang kini hilang tanpa ada dokumentasi penunjang. Namun yang terpenting, kata Mustaqim, sebagai mana perjuangan kronologi sejarah ini yang patut diteladani generasi muda. “Menggambarkan perjuangan itu penting, untuk bisa diteladani,” tukasnya. Ia berharap pemerintah menyempurnakan monumen ini. Bentuknya terlalu mini. Idealnya bukan hanya relief. Ada fasilitas lain yang menunjang lainnya dan terintegrasi. Sehingga bisa dipakai generasi muda menghayati nilai-nilai perjuangan. (jml)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: