Periksa Pegawai Bank Mandiri dan BCA, KPK Telusuri Gratifikasi SUN, Ini Penjelasannya

Periksa Pegawai Bank Mandiri dan BCA, KPK Telusuri Gratifikasi SUN, Ini Penjelasannya

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap sejumlah kasus korupsi yang dilakukan para kepala daerah, baik dari operasi tangkap tangan (OTT) ataupun pengembangan dari sebuah perkara. Para kepala daerah ini menggunakan modus yang berbeda untuk melakukan praktik korupsi. Inilah sebabnya, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri aliran uang dugaan kasus suap dengan tersangka Bupati Cirebon Nonaktif, Sunjaya Purwadisastra. Mereka memeriksa empat karyawan bank, Kamis (15/11/2018). Empat saksi merupakan pegawai bank antara lain pegawai Bank Mandiri KCP Cirebon Tegalwangi Abdul Qodir, pegawai Bank BCA KCP Cirebon Plered Asmara Wati serta dua pegawai Bank Mandiri KCP Cirebon Siliwangi masing-masing Mery Astuti dan Dhea Amellia. Baca: Pedoman Pengendalian Gratifikasi Bank Mandiri Gratification Controlling Program Modus yang diduga digunakan adalah pemberian setoran kepada Bupati setelah pejabat terkait dilantik. Nilai setoran terkait mutasi ini diduga telah diatur mulai dari jabatan lurah, camat hingga eselon III. Baca: Pedoman Pengendalian Gratifikasi Selain pemberian tunai terkait mutasi jabatan, diduga Sunjaya juga menerima \"fee\" total senilai Rp6.425.000.000 yang tersimpan dalam rekening atas nama orang lain yang berada dalam penguasaan Bupati yang digunakan sebagai rekening penampungan terkait proyek-proyek di lingkungan Pemkab Cirebon Tahun Anggaran 2018. Untuk diketahui, Sunjaya merupakan petahana yang memenangi Pilkada Kabupaten Cirebon 2018 lalu. KPK juga mengidentifkasi uang suap yang diterima oleh Sunjaya untuk kepentingan Pilkada. Sebagai pihak yang diduga penerima, Sunjaya disangkakan melanggar dua pasal terkait suap dan gratifikasi. Pertama, Sunjaya disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kedua, Sunjaya juga disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 12 B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bupati Cirebon Nonaktif, Sunjaya Purwadisastra, menambah panjang daftar pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi. Terhitung sejak 2005, sebanyak 56 kepala daerah ditetapkan melakukan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi itu menimbulkan kerugian tidak hanya pada pemerintah daerah terkait, tetapi juga negara. Besarnya kerugian negara itu bisa dilihat berdasarkan Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I tahun 2017 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang memuat hasil pemantauan penyelesaian kerugian negara/daerah tahun 2005 sampai 30 Juni 2017. Nilai kerugian terbesar ada pada pemerintah daerah, yaitu sebesar Rp3,52 triliun atau 80 persen dari total nilai kerugian negara/daerah dengan status telah ditetapkan. Kerugian ini timbul, salah satunya, lantaran korupsi. Baca: Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I tahun 2017 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Salah satu sebab menjamurnya korupsi di daerah adalah lemahnya pengawasan pemerintah pusat di daerah. Minimnya sistem check and balances mengakibatkan penyalahgunaan wewenang kerap terjadi. Kausa lainnya adalah mengakarnya politik dinasti di daerah. Politik dinasti memungkinkan satu keluarga memimpin suatu daerah hingga beberapa generasi, dan ini membikin keluarga tersebut punya akses besar terhadap penguasaan sumber daya. Korupsi yang dilakukan kepala daerah ini terkait penyalahgunaan anggaran dan wewenang, pengadaan barang dan jasa, dan penyuapan. Dari beberapa jenis tindak pidana korupsi tersebut, modus korupsi terbanyak adalah penyuapan –termasuk di dalamnya adalah gratifikasi. Sayangnya penetapan terdakwa rasuah tidak diikuti dengan vonis hukuman yang bersifat memberikan efek jera. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat vonis terhadap terdakwa korupsi menunjukkan tren putusan ringan atau lebih menguntungkan para koruptor. Data tersebut didasarkan pada pemantauan dan pengumpulan data vonis tindak pidana korupsi mulai tingkat Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung, baik kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK). Rata-rata vonis yang dijatuhkan pada kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai pelaku korupsi sepanjang 2005 hingga 2015 adalah empat tahun. Pidana penjara empat tahun merupakan hukuman minimal penjara dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tercatat sebanyak 15 kepala daerah mendapat hukuman masuk bui empat tahun lamanya. Beberapa di antaranya adalah Ilham Arief Sirajuddin, Raja Bonaran Situmeang, dan Ismeth Abdullah. Pidana penjara terlama jatuh pada Rusli Zainal, Gubernur Riau 2003-2008 dan 2008-2013, terdakwa kasus korupsi Pekan Olahraga Nasional (PON) dan kehutanan di Pelalawan dan Siak. Perbuatannya merugikan negara sebesar Rp265 miliar. Pada 2014, ia divonis mendekam di sel selama 14 tahun. Sedangkan kurungan penjara paling sebentar jatuh pada Vonnie Aneke Panambunan, Bupati Minahasa Utara periode 2005-2008. Ia terlibat dalam korupsi pengadaan barang dan jasa dalam studi kelayakan bandara Loa Kulu, Kalimantan Timur. Akibat perbuatannya, negara mengalami kerugian sebesar Rp4,05 miliar. Hukuman ringan yang dijatuhkan bagi mayoritas pelaku rasuah tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Hal ini seolah membuat tindak korupsi seperti tidak ada bedanya dengan kejahatan biasa, seperti pencurian atau penipuan. Dan ini menguntungkan koruptor. Satu contoh dari diuntungkannya vonis ringan ini dimanfaatkan oleh Yusak Yaluwo Yusak terbukti menyalahgunakan anggaran APBD semasa menjabat sebagai Bupati Boven Digoel periode 2005-2010. Pada 2010, ia divonis 4,5 tahun penjara. Selama menjalani masa tahanan dan proses persidangan kasus korupsinya, Yusak maju ke pilkada tahun 2010. Ia menang satu putaran dan kembali dilantik sebagai Bupati Boven Digoel oleh Gubernur Papua Barnabas Suebu. Untuk mencegah terjadinya hal seperti ini, dari sisi hukum, perlu ada vonis berat bagi pelaku korupsi yang memunculkan efek jera. Tak hanya itu, negara juga harus memperketat pengawasan pengelolaan anggaran, terlebih di daerah yang punya rekam jejak korupsi berulang kali –seperti Sumatera Utara– dan daerah dengan politik dinasti yang kuat. Ini perlu disoroti, sebab korupsi yang dilakukan para kepala daerah berimbas pada kerugian negara hingga triliun rupiah. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: