Gila! Orang Sakit Jiwa Didata KPU

Gila! Orang Sakit Jiwa Didata KPU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI saat ini tengah mendata peserta pemilih yang memiliki gangguan kejiwaan dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu sendiri mencatat ada 5.000 penyandang disabilitas mental atau tunagrahita di seluruh Indonesia. Anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin meminta Komisi Pemilihan Umum atau KPU mendata kembali penyandang disabilitas mental ini menjaga hak pilih mereka dalam Pemilu 2019. \"Sepanjang mereka warga negara Indonesia dan sudah 17 tahun lebih, maka mereka didata dulu untuk mengetahui kondisinya,\" kata Afifuddin di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu, 21 November 2018. Afif menjelaskan, pendataan bertujuan melihat berapa banyak penyandang disabilitas mental yang dapat menggunakan hak pilih. \"Kalau kemudian ada surat dokter yang menyatakan orang tersebut mengalami disabilitas mental permanen atau berat, barulah dia tak bisa menggunakan hak pilih,\" katanya. Hak pilih penyandang disabilitas mental diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XIII/2015. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan penderita gangguan mental yang dinilai mampu menggunakan hak pilihnya dapat turut serta dalam pencoblosan dan dimasukkan ke dalam daftar pemilih. Dalam hal ini, Afifuddin melanjutkan, KPU bekerja sama dengan dokter jiwa untuk menentukan apakah penyandang disabilitas mental tersebut dapat menggunakan hak pilih atau tidak. \"Domain KPU adalah mendata, urusan berat atau tidaknya gangguan jiwa bukan domainnya KPU,\" ucapnya. Sementara, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy\'ari menegaskan pihaknya akan melayani seluruh pemilih penyandang disabilitas apapun jenisnya pada Pemilu 2019. Pun untuk disabilitas mental (sakit jiwa) tetap akan didata oleh pihaknya. \"Hanya saja penggunaan hak pilih pada hari H (pencoblosan) sesuai dengan rekomendasi dokter yang merawatnya. Bila hari H yang bersangkutan waras, maka dapat memilih, demikian pula sebaliknya,\" ungkap Hasyim melalui pesan singkat, Jakarta, Kamis (22/11). Menurutnya, pendataan disabilitas mental melihat sikon terlebih dahulu. Bila saat didata, pemilih yang memiliki gangguan jiwa sedang kambuh, tentu tidak mungkin ditanya secara langsung. \"Lihat sikonnya, yang paling memungkinkan pendataan dengan bertanya kepada keluarga atau tenaga medis yang merawat. Dengan demikian, penyandang disabilitas mental yang memungkinkan didata hanya yang berada di rumah kumpul dengan keluarga dan sedang dirawat di RSJ atau panti,\" jelas Hasyim. Penyandang disabilitas mental, lanjut Hasyim, pada dasarnya tidak dapat melakukan tindakan (hubungan) hukum. Sehingga tindakannya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Dalam hukum, menurut Hasyim, perlakuan terhadap disabilitas mental dianggap sama dengan perlakuan terhadap anak di bawah umur, yakni dianggap belum dewasa atau tidak cakap melakukan tindakan hukum. Karena itu, dalam pengampunan diwakilkan oleh keluarga yang cakap secara hukum. \"Itulah alasan kenapa dalam hal penggunaan hak pilih, harus ada penjamin yang memiliki otoritas menyatakan yang bersangkutan pada hari h sedang waras,\" tuturnya. \"Karena itu secara awam muncul pandangan, orang gila didaftarkan sebagai pemilih. Ini sebenarnya siapa yang gila, KPU-nya atau siapa?\" pungkasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: