Jika Ramai Omzet Capai Rp10 Juta, Pernah Kirim Gerabah ke Australia

Jika Ramai Omzet Capai Rp10 Juta, Pernah Kirim Gerabah ke Australia

Desa Sitiwinangun pernah dikenal luas sebagai sentra produksi gerabah berkualitas tinggi. Lalu pernah meredup akibat gempuran produk serupa berbahan plastik. Kini, awan cerah kembali menyelimuti desa di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon itu. Gairah warga mengembalikan kejayaan gerabah yang menjadi bagian dari sejarah desa telah kembali. NURHIDAYAT, Cirebon MENDUNG menggantung di langit Cirebon, Selasa (27/11). Tapi  suasana Desa Sitiwinangun tetap bergairah. Jalan desa tetap sibuk dengan hilir mudik kendaraan. Termasuk di rumah Kadmiya di Gang Kebagusan. Di rumah itu, Kadmiya tampak serius mengukir ornamen tanah liat yang dia pegang. “Saya lagi bikin tempat tisu Mas,” ujar Kadmiya kepada Radar Cirebon sembari mempersilakan duduk. Seperti sudah mengetahui informasi yang hendak digali, pria berusia 50 tahun itu langsung bercerita panjang. Mengenai gerabah dan Desa Sitiwinangun, yang menurutnya dua hal itu tidak boleh dipisahkan. Saling terkait. “Memang pada waktu pertama itu produk gerabah sangat identik dengan Desa SItitwinangun, bahkan sampai mancanegara. Cuma, seiring waktu, datang saingan. Beredar produk yang sama dari plastik. Begitu beredar bahan plastik, perajin ngedrop. Pesanan turun. Itu sekitar tahun 1980,” cerita Kadmiya. Sejak saat itu produksi lesu. Banyak perajin mulai meninggalkan gerabah dan melirik usaha lain. Ia yang juga perangkat desa setempat itu akhirnya mulai berfikir melakukan sesuatu agar apa yang telah ditinggalkan para pendiri desa itu tidak punah. Kadmiya pun memulai upaya dengan menghidupkan kembali usaha yang dirintis orang tua. Itu sekitar tahun 2009. Saat situasi ekonomi kurang bersahabat. “Saya hanya berfikir, jangan sampai peninggalan nenek moyang hilang begitu saja. Itu yang saya pegang sampai sekarang,” ujar Kadmiya. Di tahun yang sama, ia berusaha mengumpulkan kembali para perajin. Didapatlah sekitar 30 orang. Menurun jauh ketimbang era 70-an ke bawah yang jumlahnya mencapai 1000 lebih perajin. “Mulai kita bergabung, mengadakan berbagai kegiatan di desa dan studi banding. Pemerintah desa juga mulai melirik bidang wisata. Dan akhirnya ada kebangkitan. Selang beberapa tahun, perajin bertambah jadi 50 orang. Sekarang sudah ada sekitar 90 perajin,” tuturnya. Berjalan mulus? Tidak. Meski mulai banyak warga yang kembali berproduksi, ada satu yang mengganjal di benak Kadmiya. Yaitu masa depan gerabah. Mana mungkin bisa tetap ada, jika ilmu dan skill tidak ditularkan kepada generasi muda. “Generasi muda ternyata masih punya keinginan yang sama. Ingin ikut bergerak. Tapi, keraguan masih ada. Karena belum kelihatan prospeknya. Ditambah mereka masih trauma dengan masa lalu. Tetapi prinspinya mereka punya minat,” tutur Kadmiya penuh semangat. Maka, dibuatlah berbagai kegiatan. Dengan melibatkan generasi muda. Mulai dari pelatihan hingga studi banding. Mereka diajak melihat produksi gerabah di Klaten dan Jogjakarta. Sekaligus menambah inspirasi desain. “Tahun 2016, mulai ramai. Pesanan meningkat dan wisatawan mulai berdatangan. Warga senang. Saya sendiri kalau ramai sebulan omzet bisa sampe Rp10 juta,” katanya senang. Ia menjelaskan, dibanding produk gerabah dari daerah lain, gerabah produksi warga Sitiwinangun memiliki keunggulan. Baik dari segi ketahanan maupun ornamen yang lebih bervariasi. ”Kalau yang lain sebenarnya juga sama, cuma olahan beda,” katanya. “Kalau gerabah Kasongan misalnya, lebih menonjolkan finishingnya yang halus. Tetapi tidak tahan api. Karena campuran pasirnya kurang. Sedangkan kita (Sitiwinangun, red) pasirnya lebih banyak. Makanya walaupun sedikit kasar, tetapi lebih tahan api,” tambahnya. Kini, produk Kadmiya, yang lebih banyak asesoris itu, mulai banyak dilirik. Banyak pembeli yang datang dari Cirebon maupun daerah lain. Termasuk dari pasar luar negeri. “Kalau saya pernah mengirim ke Australia.  Dari Cirebon biasanya mencari topeng, dari sekolah,” tandasnya. (*/bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: