Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Peradilan Kian Runtuh

Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Peradilan Kian Runtuh

JAKARTA-OTT terhadap hakim dan panitera menambah panjang daftar suap yang melibatkan aparatur pengadilan. Sejak tahun 2005 hingga saat ini KPK telah menangani kasus suap yang dilakukan aparatur pengadilan sebanyak 27 kali. Terdiri dari 19 hakim dan 8 orang panitera/pegawai pengadilan. Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar mengatakan tertangkapnya hakim dan panitera membuat kepercayaan publik terhadap institusi peradilan makin runtuh. “Apalagi di tempat yang sama (PN Jakarta Selatan) di tahun lalu, KPK pernah pula melakukan OTT seorang panitera,” kata Erwin Natosmal kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Rabu (28/11). Menurut Erwin Natosmal, dalam kasus OTT ini ada dua kegagalan di dalam tubuh Mahkamah Agung (MA) selaku pimpinan tinggi pengadilan. Yakni tidak mampunya Ketua MA Hatta Ali dalam melakukan reformasi peradilan, dan gagalnya peradilan satu atap. Atas dasar itu, ia meminta agar Hatta Ali mundur dari jabatannya, karena selama masa kepemimpinannya, banyak hakim dan panitera terlibat kasus suap. “Untuk yang pertama, kegagalan Hatta Ali ini bisa dilihat di mana sebagian besar kasus korupsi (15 hakim) atau korupsi peradilan terjadi pada masa dirinya menjabat di tahun 2012. Meskipun sudah terjadi OTT terhadap aparatur yang ada di bawahnya, sampai saat ini belum ada upaya yang serius dan menyeluruh untuk mereform institusi peradilan,” ucap Erwin. Dikatakan, alasan pengusulan mundurnya Hatta Ali tak lepas dari sistim satu atap yang diterapkan MA. Di mana sistem ini menempatkan seluruh pengadilan berada di bawah MA, termasuk dalam pengawasan hakim dan panitera. Sistem ini menunjukan bahwa prinsip satu atap atau judicial self governance yang diterapkan oleh MA pascareformasi, ternyata tak berkorelasi dengan akuntabilitas peradilan. “Sedangkan kedua, adalah soal desain peradilan satu atap. Sistem satu atap yang membuat semua urusan yang berkaitan dengan pengadilan harus di bawah MA, termasuk pengawasan hakim dan panitera, membuat tidak adanya pengawasan dan sistem promosi mutase yang efektif,” jelasnya. \"Upaya untuk mendorong refomasi di MA sebenarnya sudah coba didorong melalui RUU Jabatan Hakim. Dalam RUU itu ada redesain struktur peradilan, di mana apa pembagian kerja antara MA dengan institusi lainnya. Sayangnya, sampai saat ini, RUU Jabatan Hakim yang telah dibahas, sedang mandek dan tidak menunjukan kemajuan yang berarti,” sambungnya. Atas dasar itu, Erwin menyarankan agar Ketua MA Hatta Ali segera mundur dengan legawa. “Meminta Ketua MA Hatta Ali secara legawa mundur. Meminta DPR untuk secepatnya membahas RUU Jabatan Hakim. Pemerintah untuk ikut serius dalam mendorong reformasi peradilan dengan mengawal percepatan pembahasan RUU Jabatan Hakim yang sedang dibahas DPR,” pintanya. Terpisah, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan langkah OTT yang dilakukan oleh KPK bagian dari sikap penegakan hukum. Proses ke depan, ia mengatakan ada di penyidik KPK. “Kami tetap menghargai, dan tentunya tetap juga menguatkan bahwa seluruhnya dilaksanakan demi penegakan hukum,” ujarnya. (rba/FIN)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: