Kawasan Percontohan Difabel Jl Wahidin Diapresiasi, Tapi Belum Maksimal

Kawasan Percontohan Difabel Jl Wahidin Diapresiasi, Tapi Belum Maksimal

CIREBON-Jl Dr Wahidin Sudirohusodo direncanakan jadi kawasan ramah disabilitas. Juga percontohan bebas reklame. Pemasangan guiding block di area ini, hampir rampung. Bagaimana hasil pengujian sarana ini dengan melibatkan para penyandang tuna netra? Eksperimen sosial ini dilakukan Tim Metropolis Radar Cirebon bekerjasama dengan Yayasan Beringin Bakti. Mengikutsertakan dua rekan penyandang tuna netra, Indra Rukmana (23) dan Non Sista (23). Keduanya expert menggunakan tongkat. Sudah mempelajari sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Indra total tak bisa melihat. Sedangkan Sista dalam kategori low vision atau kemampuan melihat sangat rendah. Sepintas trotoar di Jl Wahidin memang lebih baik dibandingkan kawasan lain. Terutama dalam pemasangan guiding block atau garis bantu penyandang tuna netra. Nyaris tidak ditemukan yang terhalang utilitas. Baik tiang reklame, tiang listik, maupun sarana lainnya. Meski demikian, para penyandang tuna netra merasakan kekurangan. Mula-mula, eksperimen ini dilakukan dengan berjalan di area trotoar Jalan Wahidin persis di depan kantor Jasa Raharja hingga Hotel Santika. Di area ini, garis bantu terputus oleh akses keluar masuk perkantoran dan hotel. Kemudian ada beberapa titik yang ketinggiannya berbeda, tetapi jaraknya berdekatan. Ini tentu cukup menyulitkan. Diperparah dengan parkir becak yang menempati nyaris seluruh area trotoar. “Kalau buat kami (tuna netra), mungkin masih bisa. Memang susah sih. Tapi buat yang tuna daksa, pasti nggak bisa. Apalagi pakai kursi roda,” kata Indra, mengulas hasil percobaannya. Radar Cirebon yang memperhatikan mereka meliwati ”rintangan” ini, sempat dibuat khawatir. Tepat di sisi kanan trotoar terdapat saluran air. Indra dan Sista kesulitan. Uji coba kedua dilakukan ke arah sebaliknya. Dari kantor Jasa Raharja ke kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon. Di area ini, lantai trotoar jalan tidak begitu rapih. Hampir membuat Indra terjatuh. \"Aduh kesandung nih. Di sini hampir jatuh,\" ucap Indra, saat kakinya menyentuh ujung permukaan yang menganga. Sementara Sista sempat nyasar. Masuk ke area parkir Jasa Raharja, karena garis bantu yang terputus. Ia kehilangan arah. Dua kali ini terjadi padanya. Bahkan di percobaan kedua, sampai turun ke badan jalan. Tentu, tanpa ada yang memerhatikan kejadian macam ini akan membahayakan. Indra adalah tuna netra yang mandiri. Biasa melakukan perjalanan pulang pergi Cirebon-Bandung, untuk menempuh studi di salah satu universitas. Perjalanan ratusan kilometer itu ia tempuh tanpa bantuan siapapun. Dari semester awal, hingga kini hampir lulus. Sedang menyusun skripsi. Dari pengalamannya wara-wiri Cirebon-Bandung, ia dapat membandingkan kondisi trotoar dua kota ini. “Kalau di Bandung sudah cukup jelas. Nggak membingungkan. Kecuali yang di Jl Braga,” tuturnya. Dia mengapresiasi hadirnya garis bantu di trotoar jalan Kota Cirebon, kendati hasilnya belum maksimal. Misalnya, garis bantu terputus yang membuat bingung. Turunan yang merupakan akses masuk bagi pertokoan ataupun perusahaan dan instansi, mestinya disertai petunjuk lain. \"Ini di trotoar nggak ada masalah. Aman. Cuma pas turun itu malah hilang. Harus susah payah cari garis bantunya,\" paparnya. Kemudian ia juga merasakan relief guiding block yang kurang terasa. Garis bantu bercat kuning itu memang punya tekstur. Garis patah-patah untuk penanda lurus. Kemudian berupa titik untuk tanda berhenti. Baik Indra dan Sista sudah mempelajari menggunakan tongkat sejak duduk di bangku SMP. Ada kurikulum tersendiri untuk mempelajari. Keduanya mahir menggunakan perangkat ini. Namun saat dibawa ke fasilitas publik, keduanya sama-sama kebingungan. Menurut Sista, bagi dirinya dan teman-teman difabel tuna netra lainnya, ada tiga hal dasar yang harus diketahui dan dipahami ketika berada di ruang publik. Yang pertama kepekaan pendengaran, rabaan kaki juga adanya tongkat bantu. Tanpa ketiganya sulit untuk bisa berjalan. “Ini kan sedang sepi. Jadi kita masih bisa konsentasi. Kalau lagi ramai, pasti susah jalan di sini. Susah konsentrasi, susah dengar juga,” katanya. Konsentrasi saat berjalan sangat penting. Terutama mengenali tanda-tanda yang menjadi bantuan untuk meniti jalan. Dia menyarankan kepada pemerintah untuk lebih serius dalam membuat layanan publik untuk difabel. Agar ia dan teman-teman difabel lainnya bisa merasakan dan berjalan-jalan di Kota Cirebon dengan layak. Kembali ia menyoroti trotoar Jl Wahidin yang tidak memiliki pembatas dengan saluran. Untuk masyarakat yang memiliki penglihatan, tentu tidak akan masalah. Untuk difabel seperti Indra dan Sista, mereka rawan terperosok. Mahasiswa jurusan pendidikan luar biasa ini berharap, fasilitas publik semacam ini dapat terus ditingkatkan. Sehingga masyarakat mendapatkan kenyamanan. Termasuk para penyandang disabilitas. Indra mengaku sudah mencoba trotoar di ruas jalan lainnya. Pertama di Jl Siliwangi. Di kawasan ini ia tidak menemukan banyak masalah. Relatif sudah baik. Lain dengan Jl Pekiringan. Area ini tidak ramah. Banyak garis bantu yang terutup parkir sepeda motor. Juga terhalang pedagang. Serupa dengan di Jl Perjuangan dan hampir semua ruas jalan lain yang sudah dipasangi guiding block. Pembina Yayasan Beringin Bakti, Dewi juga mengapresiasi pemerintah yang sudah membuatkan fasilitas ramah disabilitas. Tetapi ke depan ia berharap ada pembenahan. Sebab, difabel punya hak yang sama untuk bisa menikmati fasilitas kota ini. \"Saya harap dibuat ya dibuat dengan serius. Supaya bisa dimanfaatkan untuk yang dituju,\" tambahnya. (myg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: