Basa: Basa-basi Bisa Basi

Basa: Basa-basi Bisa Basi

TIAP kali menulis puisi dalam bahasa Cirebon, saya merasa seperti tengah merogoh saku celana dan mesti jujur untuk mengambil sedikit uang milik sendiri dari sekian banyak yang ada di sana. Saya tidak tahu apakah penulis-penulis lain mengalami hal serupa. Yang saya tahu, di sini, ramai orang bersepakat menjaga basa Cerbon dari kepunahan, tapi yang mereka lestarikan adalah bahasa Jawa. Sebelum tahun 1970-an, pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah Cirebon-Indramayu mengacu pada sebuah buku pelajaran bahasa asing: Jawa Solo. Yang mengajar bingung, yang diajar lebih bingung. Buku acuan lalu diganti. Sayangnya yang menjadi pengganti adalah buku bahasa asing lainnya: bahasa Sunda. Di Cirebon, sebagian masyarakat di wilayah barat laut, tenggara dan sedikit di selatan memang penutur bahasa Sunda. Namun rasionya tak sampai seperlima. Alhasil, yang mengajar dan diajar pun kelimpungan bareng di kelas. Ini bukan etnosentrisme. Hanya saja, terasa benar bahwa kebijakan pembelajaran bahasa daerah di sekolah hanya berdasar dugaan-dugaan: diduga masyarakat Cirebon adalah pengguna bahasa Jawa mainstream, setelah tahu keliru, dugaan berlanjut pada bahasa lainnya. Sampai saat keduanya terganti oleh Bahasa Jawa dialek Cirebon, lalu benar-benar (dalam tanda kutip) basa Cerbon. Belakangan, entah dengan cara apa, etos menduga-duga itu banyak diwarisi. Dalam perencanaan korpus yang dilakukan tahun 2002, kamus basa Cerbon almarhum Sudjana telah menghilangkan embel-embel “dialek” dan tegas memasang “merek” Kamus Bahasa Cirebon. Hal serupa terjadi juga pada Wyakarana (tata basa Cerbon). Sekolah-sekolah kemudian mengajarkan. Dan para basa Cerbon lovers mendadak masygul menyaksikan kian berkurangnya pengguna bebasan atau kromo inggil. “Mari perkuat basa Cerbon!,” kata seorang budayawan. “Mari tumbuhkan kebanggan menggunakan basa Cerbon!,” kata murid-muridnya menirukan. Pemerintah merespons. Sejumlah anggaran pun disediakan. Maka muncullah koran, majalah, pasanggiri dan antologi-antologi karya sastra yang ditulis dalam bahasa Cirebon. Sayangnya, semua seakan tak ke mana-mana: orang berteriak-teriak soal pelestarian bahasa Cirebon, namun mereka menulis dalam bahasa Jawa. Pada kosakata bebasan seperti dugi, sareng, lebet, tebih, wangsul, menawi, mboten, atau mangga, misalnya, saya hanya menemukan adab, bukan tubuh bahasa. Seorang asing dari masa lalu seperti meminjamkan mulutnya, sebelum akhirnya pelabuhan, pasar, tempat ibadah, jondol, baperkam, lapang bola, dan hampir semua ruang-ruang interaksi di kota ini secara alami berhasil menggantikan. Tentu saja lebih liar dan kasar. Tapi ia lebih otentik. Lebih menceritakan biografi dan psikografi kita sebagai sebuah entitas sosial. “Sira arep mendi?”, itu Cirebon. “Pengapunten, mas/mbak, panjenengan bade pundi, nggih?”, itu Jawa. Karenanya, pentahbisan bebasan atau kromo inggil sebagai bahasa Cirebon, selain bebal dan tidak jujur, hanya mengakibatkan inflasi pada basa Cirebon itu sendiri. Saya tak mempersoalkan indikator-indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar dalam metode Guiter. Sebab problem kajian dialektologis Balai Bahasa Bandung tahun 2002-2007 lalu itu, ada pada objek penelitian yang mereka duga sebagai bahasa Cirebon. Pantas jika dalam penelitian tersebut perbedaan kosakata bahasa Cirebon dengan bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta hanya mencapai 75 persen. Dan itu tak cukup untuk bisa disebut sebagai bahasa mandiri. Bebasan dan kromo inggil pun saya tinggalkan. Saya lebih suka menggunakan bahasa kita-sira dalam lisan maupun tulisan. Selain lebih nyerbon, lebih menunjukkan bahwa semua kita adalah anak-cucu seorang kreator, bahasa ngoko (yang oleh orang Jawa dianggap sebagai rendahan itu), terasa egaliter dan lebih merepresentasikan pencapaian budaya pantura. Secara psikolinguistik, ia berhasil mengetengahkan sikap tegas, lugas, terang-terangan, yang notabene sulit ditemukan dalam dua budaya besar yang selama berabad-abad terus memengaruhi kota ini. Seperti dalam budaya komunikasi masyarakat Perancis, basa Cerbon ada di antara mata dan mata. Hangat, tak ada inferioritas, tak kenal basa-basi, tak pakai grundal-grundel di belakang. Hingga sampai di sini, saya akhirnya membuat satu teori untuk kepentingan pribadi: semakin halus dan sopan bahasa yang digunakan, semakin kita tidak orisinal. Sebaliknya, semakin kasar dan blak-blakan, maka semakin kreatif; semakin asli; semakin Cirebon. Apa boleh buat. Qulil haqqa, demikian sebuah hadits, walau kaana murran. Saya harus menulis ini meski pahit. (*) *Bukan budayawan, tinggal di Rumah Kertas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: