Cirebon Belum Punya Pelayanan Satu Pintu Tangani Kekerasan Perempuan

Cirebon Belum Punya Pelayanan Satu Pintu Tangani Kekerasan Perempuan

CIREBON-Belum adanya layanan satu pintu untuk korban, menjadi kendala besar dalam penanganan kasus kekerasan perempuan di wilayah Cirebon. Selain itu stigma yang masih diberikan kepada korban juga menjadi salah satu faKtor penyebab lain. Manajer Program Forum Pengada Layanan Women Crisis Center Mawar Balqis Saadah menyebutkan, dukungan perangkat dan sarana dan prasarana untuk pemenuhan hak korban juga harus menjadi perhatian selanjutnya oleh pemerintah. Masih banyaknya korban yang tidak mau melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya tentunya harus menjadi evaluasi pemerintah. “Masalah lain adalah payung hukum yang masih belum cukup melindungi para korban adalah salah satu alasan kenapa korban enggan melapor,” ujar Saadah kepada Radar Cirebon, belum lama ini. Dijelaskannya, kondisi para korban yang sangat membutuhkan penanganan secara komprehensif tentunya tidak bisa dilakukan oleh salah satu pihak saja. Untuk itu FPL WCC Mawar Balqis memberikan rekomendasi kepada beberapa pihak agar dapat bersama-sama bersinergi melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan. Sebut saja kepada Lembaga P2TP2A diharapkan agar lebih bersinergi dengan gugus tugas yang ada dalam melakukan upaya pencegahan dan penanganan. Selain itu, pihaknya juga berharap kepada aparat penegak hukum, agar tenaga penyidik perempuan dan berspektif korban sangat dibutuhkan oleh korban. Namun karena jumlahnya yang masih sangat minim menjadi salah satu penghambat penanganan cepat untuk penanganan kasus ini. Sehingga sangat direkomendasikan agar itu bisa ditambahkan pada tahun berikutnya. Pihaknya juga berharap banyak kepada peranan pemerintah daerah di wilayah Cirebon, diharapkan agar dengan adanya SLRT (sistem layanan rujukan terpadu), masing-masing SKPD bisa bersinergi dengan pihak terkait untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan kasus melalui fasilitator-fasilitator yang telah dilatih. “Kita juga berharap agar legislative juga berperan aktif , baik di DPRD maupun DPR RI. Kita mendesak agar RUU Penghapusan Kekerasan seksual segera disahkan, karena keberadaannya sangat dibutuhkan oleh para korban kekerasan seksual (tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki),” terangnya. Tak hanya itu, Saadah juga menyebutkan partisipasi aktif masyarakat untuk ikut bersama-sama mengawasi lingkungannya dan segera memberikan informasi kepada pihak berwenang bila menemui peristiwa yang berindikasi adanya kekerasan terhadap perempuan. Sebagai  lembaga pendampingan perempuan dan anak korban kekerasan, FLP WCC Mawar Balqis seperti biasa melakukan pendokumentasian atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi selama tahun 2018. Setelah sebelumnya pada tahun 2017 lembaga ini mencatat 143 kasus (kompilasi data dengan P2TP2A Kabupaten Cirebon dan unit PPA Polres Kabupaten Cirebon), maka hingga akhir November tahun ini FPL WCC Mawar Balqis mencatat ada 137 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (perempuan) yang terlaporkan di lembaga ini, unit PPA Polres Kabupaten Cirebon dan P2TP2A Kabupaten Cirebon. Pada tahun 2018 ini, kekerasan seksual menempati urutan tertinggi untuk bentuk kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh FPL WCC Mawar Balqis, dan KDRT sebagai angka kekerasan tertinggi berikutnya. Korban kekerasan seksual yang paling banyak berasal dari mereka usia remaja, yakni 11-20 tahun. Tentunya hal ini sangat miris, karena para remaja yang sejatinya menjadi harapan generasi bangsa justru menjadi korban terbanyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal lain yang menjadi keprihatinan selanjutnya , dan harus menjadi perhatian semua pihak adalah, realita bahwa pelaku kekerasan seksual terbanyak adalah mereka yang merupakan orang terdekat korban, keluarga dekat. (jml)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: