Kekerasan Seksual terhadap Anak di Indramayu Tinggi, Pelakunya Mayoritas Orang Dekat

Kekerasan Seksual terhadap Anak di Indramayu Tinggi, Pelakunya Mayoritas Orang Dekat

INDRAMAYU – Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Indramayu, Lily Ulyati mengaku prihatin dengan masih tingginya kasus kekerasan terhadap anak di Indramayu. Untuk itulah diperlukan penanganan secara serius dari semua pihak. Apalagi berdasarkan data dari Polres Indramayu, pada 2018 ada 43 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Jumlah itu naik dari 2017 yang hanya 24 kasus saja. Selain itu, kasus kekerasan fisik terhadap anak pada 2018 juga meningkat menjadi 26 kasus dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 13 kasus saja. Lily bahkan menyebut kasus kekerasan terhadap anak bagai fenomena gunung es. Artinya masih banyak kasus yang belum terungkap ke permukaan. Faktor utama penyebabnya yakni kebanyakan dari para keluarga korban enggan melapor karena alasan malu. Sebab mayoritas para pelaku kekerasan merupakan orang terdekat. “Kebanyakan pelaku orang terdekat. Bisa saudara, paman, ayah, pengasuh ataupun tetangganya,” ujar Lily saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (2/1/). Lily mengungkapkan, faktor penyebab tindakan kekerasan terhadap anak tersebut cukup kompleks. Mulai dari faktor ekonomi, sosial, pendidikan hingga agama. Sebagai contoh, kebanyakan para buruh migran menitipkan anaknya kepada sanak saudaranya. Akibatnya, anak pun kurang pengawasan dari orang tuanya. Sehingga pada akhirnya menjadi korban kekerasan fisik maupun seksual. Kasus tersebut seringkali terjadi di Kabupaten Indramayu. “Kurangnya pengawasan dan tingkat pendidikan yang rendah, di antaranya yang menjadi faktor utama,” tuturnya. Lily mengakui, dinas yang dipimpinnya memiliki keterbatasan untuk mengatasi kasus-kasus tersebut. Kurangnya personel dan anggaran menjadi hambatan penuntasan kekerasan terhadap anak. Sejalan dengan hal itu juga, korban kekerasan seringkali tidak melapor ke DP3A. Kebanyakan dari mereka melapor langsung ke polisi. “Warga banyak yang tidak melapor ke sini, tapi langsung ke polres,” katanya. Kendati demikian, Lily mengaku akan terus berupaya menuntaskan kasus kekerasan anak. Salah satunya adalah dengan menghidupkan keberadaan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak). Melalui P2TP2A ini diharapkan para korban berani untuk melapor setiap kejadian kekerasan yang dialami. Di shelter khusus bagi para korban kekerasan ini,  disediakan juga psikolog yang siap mendampingi korban untuk memulihkan luka-luka traumatik. Selain itu, DP3A juga seringkali menggelar forum anak di desa-desa, yang fokus membahas isu-isu dan masalah tentang anak di Kabupaten Indramayu. Dengan adanya upaya tersebut diharapkan kasus kekerasan bisa berkurang secara signifikan. Lily berharap, dalam waktu dekat Kabupaten Indramayu bisa ramah terhadap anak-anak. “Semoga melalui upaya yang kita lakukan, bisa cepat teratasi,” katanya. Terpisah, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) wilayah Jawa Barat Darwini mengaku miris melihat masih tingginya kasus terhadap perempuan terutama anak. Dia pun menyoroti lemahnya upaya perlindungan hukum terhadap para korban sebagai faktor penyebabnya. “Harusnya (hukum, red) ditegakkan secara adil dengan mempertimbangkan rasa kemanusiaan dan keadilan terhadap korban,” ujar Darwini. Untuk itu, ia mendesak DPR RI untuk segera mensahkan RUU Perlindungan Korban sebagai payung hukum. Undang-undang tersebut dinilai sangat vital untuk menuntaskan kasus kekerasan fisik maupun seksual terhadap anak. (oet)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: