BPJS Masih Nunggak ke RSUD Arjawinangun Sebesar Rp17,8 Miliar

BPJS Masih Nunggak ke RSUD Arjawinangun Sebesar Rp17,8 Miliar

CIREBON-Rumah sakit milik pemerintah kembali bersuara terkait tunggakan klaim BPJS Kesehatan yang belum dibayarkan. Kali ini RSUD Arjawinangun. Angkanya Rp17,8 miliar. Meski nilainya tak sebesar RSUD Waled dan RSD Gunung Jati, tapi sangat berpengaruh terhadap operasional rumah sakit. Direktur RSUD Arjawinangun dr H Bambang Sumardi MM mengatakan klaim yang diajukan kepada BPJS hingga November 2018, baru dibayarkan 1 bulan. Yakni bulan Agustus. Pembayaran itu dilakukan dua hari lalu, Selasa (8/1). Sementara itu, 3 bulan setelahnya, atau September hingga November, belum dibayarkan pihak BPJS meski pihak rumah sakit telah mengajukan klaim pembayaran tersebut. “Yang belum dibayarkan itu bulan September hingga November 2018. Totalnya mencapai Rp17,8 miliar. Sementara kemarin (Selasa 8/1, red), tidak disangka-sangka turun yang bulan Agustus. Nilainya Rp6,5 miliar,” bebernya saat ditemui Radar Cirebon di ruang kerjanya. Klaim yang diajukan RSUD Arjawinangun kepada BPJS sendiri rutin dijadwalkan setiap bulan. Namun, untuk klaim bulan Desember, lanjut Bambang, masih dalam proses dan akan diselesaikan dalam waktu dekat. Dampak yang paling berpengaruh dari terlambatnya pembayaran klaim BPJS, dikatakan pria berkacamata tersebut, adalah terhadap operasional rumah sakit. Seperti untuk memenuhi gaji karyawan atau pembelian obat. “Makannya kami mempunyai strategi. Jadi dalam setiap kontrak pembayaran disesuaikan dengan pencairan BPJS. Kalau obat maksimal pembayaran 3 bulan, kalau 3 bulan tidak bayar dia nge-lock (terkunci, red). Yang kami lakukan negosiasi. Bukannya kami tidak mau bayar, tapi karena uangnya belum cair dari BPJS, kalau cair pasti kita bayarkan,” tegasnya. Dalam kesempatan yang sama, Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUD Arjawinangun Ade Sutandi juga mengatakan dampak dari telatnya pencairan klaim BPJS adalah operasional rumah sakit yang terganggu. Namun, ia masih bersyukur karena RSUD Arjawinangun masih bisa mencukupi dan tidak harus meminjam dana talangan di bank seperti yang dilakukan RSUD Waled atau RSD Gunung Jati. “Mekanismenya kita bikin MoU (Memorandum of Understanding) dengan bank. Dan itu memang resmi. Jaminannya FPK (Formulir Pengajuan Klaim),” katanya. Lebih lanjut dikatakan Ade, jika BPJS telat membayarkan tunggakan setelah rumah sakit mengajukan klaim dan telah terverifikasi, BPJS akan terkena denda dari keterlambatan tersebut. “Dari verifikasi ke pembayaran itu maksimal 15 hari. Kalau lebih dari 15 hari kena denda. Setelah keluar FPK, dihitung. Baru denda berjalan,” terangnya. Sementara itu, semenjak diberlakukannya rujukan berjenjang kepada pasien BPJS Kesehatan, RSUD Arjawinangun mengalami penurunan klaim BPJS sebesar Rp2 Milliar. Hal tersebut dikarenakan rujukan pasien terlebih dahulu mengacu pada rumah sakit dengan tipe D atau C. Menurut Direktur RSUD Arjawinangun Bambang Sumardi, sebelum diberlakukan peraturan tersebut, RSUD Arjawinangun bisa mendapat klaim Rp7 miliar hingga Rp8 miliar per bulan. “Namun ketika rujukan berjenjang diberlakukan dan rayonisasi, turun,” ujarnya. Menyadari peraturan itu merupakan amanat undang-undang, lanjut Bambang, peraturan seharusnya dibuat lebih fleksibel menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Pasien dengan domisili yang jauh dengan rumah sakit rujukan, menjadi kendala terbesar dalam sistem rujukan berjenjang. Meskipun teringankan dengan BPJS, pasien akan tetap mengeluarkan uang untuk biaya transportasi dan sebagainya ketika dalam perjalanan. “Otomatis masyarakat membutuhkan dana yang besar. Masyarakat di sekitar sini pernah saya tanya, berapa habisnya? Dan katanya untuk ke rumah sakit Pertamina (tipe C, red) saja, harus membawa uang Rp200 ribu, untuk mobilnya saja. Itu kan kebijakan yang seharusnya lebih fleksibel,” tuturnya. Menyikapi hal tersebut, Bambang Sumardi mengatakan, perlu adanya solusi. Seperti rayonisasi. Agar masyarakat domisili sekitar dapat berobat di rumah sakit yang dekat dengan rumahnya. “Harusnya ya rayonisasi saya rasa. Misal, daerah Cirebon Barat ya ke RS Arjawinangun. Jangan langsung ke sana (RS tipe C). Jauh, kasihan. Seharusnya kan dilihat jarak,” pungkasnya. (ade)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: