Kritik Pedas Sidney Jones ke Jokowi Soal Pembebasan Abu Bakar Ba’asyir

Kritik Pedas Sidney Jones ke Jokowi Soal Pembebasan Abu Bakar Ba’asyir

Keputusan Presiden Joko (Jokowi) Widodo untuk membebaskan Abu Bakar Baasyir salah arah, dipertanyakan secara hukum, dan tidak kompeten secara politis. Ia mengirim pesan bahwa jika seseorang menentang negara cukup lama, negara pada akhirnya akan menyerah. Ini memberanikan mereka yang melihat bahwa demokrasi tidak sesuai dengan Islam, karena itulah yang telah disuarakan Ba’asyir sepanjang hidupnya. Ini memberikan kembali para jihadis pahlawan mereka, statusnya semakin meningkat dengan memenangkan kebebasannya tanpa harus menerima Pancasila atau berjanji kesetiaan kepada negara Indonesia. Itu membuat presiden tampak cukup Machiavellian untuk melakukan apa saja sebagai imbalan beberapa suara, atau secara politis tuli dan buta sehingga dia tidak tahu konsekuensinya. Ini menunjukkan bahwa ia menyimpan belas kasihannya untuk satu ekstremis terkenal yang kebetulan sudah tua, daripada tahanan lain yang sakit kritis, korban penganiayaan massa, atau terlalu miskin untuk membayar pengadilan yang korup. Meski begitu, pembebasan ini—jika dilanjutkan, seiring oposisi tampaknya dengan cepat terbangun pada Senin (21/1) di dalam kubu Jokowi sendiri—kemungkinan tidak akan tiba-tiba meningkatkan risiko terorisme di Indonesia. Ini juga tidak menandai pengurangan dalam upaya kontra-terorisme Indonesia. Densus 88—yang memimpin upaya itu—sama terkejutnya dengan keputusan itu, seiring semua orang dan beberapa perwiranya sangat tidak senang dengan pembebasan seorang pria yang secara luas dianggap sebagai ideolog terkemuka ekstremisme kekerasan di Indonesia. Tapi itu sangat salah dengan begitu banyak alasan, sehingga orang hanya bisa bertanya-tanya dari mana Jokowi mendapatkan nasihatnya. PEMBEBASAN MUNGKIN TIDAK MENINGKATKAN RISIKO SERANGAN, TETAPI AKAN MEMUNGKINKAN BAASYIR UNTUK MENYEBARKAN NILAI-NILAI JIHAD DAN MEMICU KEKERASAN OLEH ORANG LAIN Pengacaranya mengatakan bahwa ia tidak akan berada di bawah batasan, dan pria itu tidak kehilangan kemampuan mental atau kemampuan berbicara. Bahkan jika dia hanya duduk di rumah (yang tidak mungkin), dia akan melihat aliran simpatisan—termasuk tiga generasi ekstremis—yang datang untuk memberikan penghormatan dan banyak kesempatan untuk mendorong militansi mereka. Mengapa dia tidak pindah ke tahanan rumah jika dia terlalu lemah untuk tinggal di penjara? Dia bisa berada di bawah penjagaan konstan, dengan pembatasan bicara dan perjalanan. Dengan cara ini, polisi akan bisa sepenuhnya memantau rumahnya. Namun, satu pertanyaan adalah, apakah keputusan presiden ini juga sama dengan kekebalan dari penuntutan lebih lanjut, atau apakah Baasyir masih bisa ditangkap di bawah undang-undang anti-terorisme yang baru, yang disahkan pada Mei 2018, atas dukungan berkelanjutan terhadap ekstremisme kekerasan. Masih belum jelas apakah dia masih mendukung ISIS, terlepas dari kesetiaannya pada pemimpinnya, Abu Bakar al-Baghdadi, pada tahun 2014. Baasyir selalu mendukung kebohongan demi kepentingan tujuan yang lebih besar dan telah sering mengulang pernyataan sebelumnya, sehingga tidak mungkin untuk mengetahui di mana dia sebenarnya berdiri. DASAR HUKUM KEPUTUSAN PRESIDEN JOKOWI MASIH TIDAK JELAS Ini jelas bukan grasi, karena Baasyir tidak pernah meminta grasi. Itu bukan amnesti. Tampaknya ini akan melanggar Peraturan 99 tahun 2012 dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang membuat pembebasan awal untuk kategori pelaku tertentu—termasuk teroris yang dihukum—bergantung pada kesediaan mereka untuk menandatangani sumpah kesetiaan tertulis kepada pemerintah Indonesia. Pengacara Baasyir berpendapat bahwa karena ini adalah peraturan dan bukan hukum, ini maka dapat ditimpa oleh keputusan presiden untuk melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan. Tetapi mengapa persyaratan kesetiaan kepada negara Indonesia diabaikan untuk alasan kemanusiaan? Itu tidak masuk akal. RENCANA PEMBEBASAN DIUMUMKAN PADA WAKTU YANG ANEH Jika Jokowi dan para penasihatnya tidak ingin menimbulkan spekulasi bahwa ini semua dilakukan karena alasan politis, untuk menarik kaum konservatif Islam sebelum pemilihan presiden April 2019, mengapa harus bertindak sekarang? Kesehatan Baasyir sama seperti setahun yang lalu ketika Jokowi mengabaikan petisi untuk pembebasannya. Mengapa dia memilih untuk bertindak sekarang, ketika tidak dapat dihindari bahwa dia akan dituduh mencoba untuk mencetak poin politik atau untuk menahan dampak dari pembebasan Ahok minggu ini, Gubernur Kristen Jakarta yang dijatuhkan oleh kelompok Islamis? Dia bisa dengan mudah menunggu beberapa bulan. Karena itu, para Islamis—walau senang melihat Ba’asyir bebas—menolak langkah Jokowi dan menyebutnya sebagai taktik politik yang murah. Itu tidak akan memberinya suara dari kubu itu dan mungkin akan membuatnya kehilangan beberapa suara di antara pemilih yang lebih berpikiran terbuka. Hasil akhirnya adalah bahwa Jokowi pada akhirnya tampak lemah, kehilangan strategi, dan mendapatkan saran yang salah. Bukan citra yang baik seiring kampanye pemilihan presiden semakin memanas. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: