Warga Ancam Ajukan Class Action, Jika Pemkab Tidak Anulir Fatwa Zona Industri Losari

Warga Ancam Ajukan Class Action, Jika Pemkab Tidak Anulir  Fatwa Zona Industri Losari

CIREBON-Fatwa yang dikeluarkan Bupati Cirebon Nonaktif Dr H Sunjaya Purwadisastra MM MSi untuk lahan industri seluas 500 hektare di Losari, terus jadi polemik. Penolakan pun mulai bermunculan. Bahkan, warga mewarning, jika fatwa tersebut tidak dianulir, maka sejumlah elemen siap mengajukan gugatan class action. Hal tersebut disampaikan Ridwan, tokoh pemuda Losari yang juga wakil ketua Pengurus Cabang Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LPPNU) Kabupaten Cirebon. Menurutnya, untuk langkah awal, pihaknya sudah melayangkan surat ke DPRD meminta audiensi dengan dinas yang bersangkutan. Terkait alokasi lahan industri di Kecamatan Losari. Terutama membahas fatwa yang sudah keluar pada lahan seluas 500 hektare di Losari. “Surat sudah kita layangkan. Harusnya mingu-minggu ini pertemuannya. Difasilitasi oleh DPRD, kita akan bertemu dengan Pemkab Cirebon terkait fatwa yang sudah keluar. Harapan kita, fatwa itu bisa dianulir. Kalau tidak, sebagai langkah terakhir kita akan ajukan gugatan class action,” ujarnya. Ditambahkan Ridwan, dasar yang akan digunakan untuk mengajukan gugatan class action adalah peraturan serta ketentuan terkait penyediaan lahan untuk zona industri yang saat ini sudah keluar fatwanya. “Kami ajukan class action, karena keluarnya fatwa terkait penyediaan lahan seluas 500 hektare tersebut, justru bertentangan dengan Peraturan Bupati terkait Alih Fungsi Lahan. Bahkan, salah satu dinas teknis pun sudah terang-terangan menolak mengeluarkan rekomendasi alih fungsi lahan tersebut untuk industri,” imbuhnya. Dijelaskan Ridwan, bukan tidak mungkin persoalan yang awalnya muncul di Losari tersebut, bakal merembet ke Perda RTRW Kabupaten Cirebon. Pasalnya, apa yang terjadi saat ini, bermula dari revisi Perda RTRW yang disahkan beberapa waktu lalu. “Kalau memang harus, kenapa tidak? Revisi lagi Perda RTRW bukan barang haram. Karena pembangunan atau dalih apapun, harus memperhatikan banyak aspek dari mulai kearifan lokal, keseimbangan lingkungan, dampak sosial dan lain-lainnya,” jelasnya. Sementara itu, Tokoh Nelayan Desa Ambulu Samsurudin mengaku, saat ini masyarakat di wilayahnya terbagi. Sebagian setuju dengan pembebasan lahan dan sebagian lagi menolak, karena industri dipandang bakal menghapus kearifan lokal di wilayah tersebut. “Kalau saya tetap menolak. Karena bagaimana pun, kami di sini yang akan merasakan dampaknya. Memang ada yang setuju seperti para pemilik lahan, tapi juga harus dilihat bahwa nanti yang terkena dampak tidak hanya yang punya lahan. Tapi kami yang tidak punya lahan juga bakal terdampak,” ungkapnya. Terpisah, Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Cirebon Supirman SH mengatakan, dalam satu waktu kunjungannya ke Losari, pihaknya tidak mendapati satupun dokumen jual beli yang dilakukan. Baik secara perikatan perjanjian jual beli (PPJB) ataupun perjanjian jual beli (PJB). Sehingga, dalam hal ini perlu dilakukan penertiban terkait prosesnya. “Harus beli secara aturan. Tidak boleh di bawah tangan dan harus terbuka. Harus tertuang dalam dokumen. Dibeli berapa, dibayar berapa. Sisanya kapan. Kalau tidak menyelesaikan kewajibannya, akan gugur uang muka itu. Ini yang tidak kita temukan dalam kunjungan kemarin,” imbuhnya. Selain itu, menurut Supirman, meskipun saat ini Pemkab Cirebon sudah mengeluarkan fatwa untuk kawasan tersebut seluas 500 hektare, namun yang harus diingat, fatwa bukanlah izin. Melainkan pintu masuk untuk menempuh izin-izin terkait yang dibutuhkan. “Fatwa itu isinya boleh untuk usaha industri. Tapi bukan izin. Ini hanya pintu masuk, masih jauh. Masih harus menempuh rekomendasi dan izin-izin lainnya yang dibutuhkan juga,” jelasnya. (dri)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: