Balada Sopir Truk dan Tol Trans Jawa, Terpaksa Setia pada Pantura

Balada Sopir Truk dan Tol Trans Jawa, Terpaksa Setia pada Pantura

CIREBON-Seperti dihadapkan dengan dua pilihan. Punya pasangan rupawan. Tapi dengan biaya hidup besar. Atau punya pendamping yang biasa-biasa saja. Yang lebih pengertian. Truk fuso 190 PS Tahun 1994 sudah akrab dengan Jalur Pantai Utara (Pantura). Begitu juga dengan pengemudinya, Muhammad Dukri (50). Puluhan tahun keduanya mengaspal untuk rute Cirebon-Kediri. Hari-hari ini, mereka ”dipaksa” setia melintasi jalanan nontol Pulau Jawa. Sekalipun ada tol dengan beragam kelebihannya. “Bawa truk itu bisa berhari-hari. Nggak bisa seperti bawa mobil biasa. Harus sering berhenti,” ujarnya menggambarkan perjalanan yang harus dilakoninya. Warga Perumahan Villa Intan Kabupaten Cirebon ini, kenyang pengalaman “mengukur” jalan Pulau Jawa. Truk yang sudah 25 tahun menemaninya, harus rehat tiap 3 jam. Ini dilakukan untuk mendinginkan mesin, radiator dan menghemat ban. Kalau rute yang dilaluinya penuh dengan tanjakan dan turunan. Truk harus sering berhenti. Lalu dicek bagian-bagian vital seperti rem, kanvas kopling dan lainnya. “Paling lama jalan empat jam. Istirahat satu jam. Kalau bablas bahaya. Bisa rem blong, bisa ngantuk,\" ucapnya. Perjalanan lewat pantura memang memakan waktu tempuh lebih lama. Lewat tol, bisa separuhnya. Namun bagi dirinya dan supir truk yang tidak terlalu memasang target waktu, ini bukan masalah. Lain dengan truk paket atau yang mengangkut barang penting. Dukri, barangkali hanya satu dari pengemudi lintas provinsi yang memilih kembali ke pantura. Banyak hal yang jadi pertimbangan. Pertama, kondisi jalan nasional umumnya sudah baik. Hanya saja setiap masuk kota/kabupaten dan keramaian seperti pasar, kemacetan tidak bisa dihindari. Kedua, sudah jarang pungli di perjalanan. Dukri menyebutkan, bila truk sesuai dengan kapasitasnya dan lengkap surat-suratnya, ada operasi pun aman-aman saja. \"Saya ngangkut tetes tebu untuk campuran pakan sapi. Nggak harus cepat sampai, tapi ada ditarget,” tuturnya. Dalam sekali jalan Ngawi/Kediri ke Cirebon, pulang pergi ditargetkan tiga atau empat hari. Dengan biaya perjalanan termasuk honor Rp4-5 juta. Dari situ, ia mendapat maksimal Rp1 juta. Bisa kurang kalau terjadi insiden di jalanan. Ban kempes. Mogok. Atau kendala lainnya. “Kalau masuk tol. Ya habis uangnya,” ucapnya. Supir truk lintas provinsi, memang perlu berpikir ulang dan memperhitungkan biaya bila masuk tol. Dukri memang sempat menjajal Tol Trans Jawa. Waktu baru diresmikan. Dan masih gratis. Tapi setelah beroperasi optimal. Masuk tol sudah bukan pilihan. Karena biayanya bisa Rp1 juta untuk perjalanan pulang pergi. Yang notabene, itu seharusnya jadi honornya mengemudi ratusan kilometer. Dengan ongkos Rp4-5 juta untuk sekali jalan, bisa dibilang sudah all in. Untuk solar pulang pergi sekitar Rp2 juta. Truknya mengkonsumsi kira-kira 3 kilometer/liter. Sekali makan Rp20 ribu. Itu dihemat-hemat, demi membawa uang lebih untuk menafkahi dua orang anak dan istrinya di rumah. Dikatakannya, hampir semua teman seprofesi mendapat bayaran dengan sistem honor seperti itu dari majikannya.  Pengemudi truk lainnya, Atho (40), juga mengamini kondisi rekan satu aspalnya. Dia pernah melintasi tol dalam perjalanan dari Semarang menuju Jakarta. Masuk lewat pintu tol Krapyak, Semarang dan keluar di Pemalang. Dia harus keluar Rp230 ribu. Pengalaman itu membuatnya memutuskan untuk kembali melintas lewat Jalur Pantura dibanding lewat tol. Biaya tol memang tidak diberikan perusahaan dan menjadi tanggung jawab sopir sepenuhnya. Hal serupa juga dikatakan Hasanudin (45). Dia merinci, ongkos yang diberikan perusahaan sebesar Rp3,6 juta untuk rute Semarang-Jakarta. Sementara kebutuhannya sepanjang perjalanan tidaklah sedikit. Untuk membeli solar, paling tidak Rp1,6 juta. Biaya bongkar muat Rp300 ribu. Ia pun harus membayar kernet. Yang ditotal seluruhnya bisa sampai Rp2,5-3 juta. “Ya sekali jalan itu Rp600 ribu. Itu sudah ngirit. Kalau lewat tol, nggak ada lebihannya,” tuturnya, saat ditemui di bilangan Jl Kalijaga. Para pengemudi truk, punya aspirasi yang sama. Setidaknya jalan pantura untuk lebih diperhatikan kondisinya. Juga dari kemacetannya. Makin sering terhambat, biaya transportasi bisa bengkak. Yang pada akhirnya, merugikan para pengemudi itu sendiri. Bagi para pengukur jalan pantura, ada atau tidak tol hanya soal waktu tempuh. Bukan pada biaya distribusi logistik yang murah  atau mahal. Toh tarif mereka sudah dipatok. Sekali jalan di kisaran Rp4-5 juta. Ada lebih untuk anak istri. Kalau kurang, tanggung sendiri. (gus/okr)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: