Mengungkap RAND Corporation dan Kutipan Istilah ‘Propaganda Rusia’ Jokowi

Mengungkap RAND Corporation dan Kutipan Istilah ‘Propaganda Rusia’ Jokowi

Calon Presiden (capres) dengan nomor urut 01 Joko Widodo memaparkan pernyataannya yang menyebut adanya tim sukses yang melakukan propaganda Rusia. Menurut dia, pernyataannya tersebut bukan berarti Negeri Tirai Besi itu ikut campur dalam kontestasi Pilpres 2019. Ia menerangkan, istilah propaganda Rusia itu diambil dari terminologi Rand Corporation. Rand Corporation saat ini dinilai sebagai scape goat atau kambing hitam atas konflik yang ada di media sosial (medsos) Indonesia.       “Kita tidak bicara mengenai negara, bukan negara Rusia tapi terminologi dari artikel Rand corporation. Sehingga ya memang tulisannya seperti itu, bahwa yang namanya semburan kebohongan, semburan dusta, semburan hoaks itu bisa mempengaruhi dan membuat ragu dan membuat ketidakpastian,” kata Jokowi di Jakarta, Selasa (5/2/2019). Siapa Rand Corporation? RAND Corporation adalah lembaga nonprofit yang fokus pada analisa kebijakan publik. Dibentuk pada tanggal 14 Mei 1948 oleh Henry H. Arnold di Amerika Serikat. RAND Corporation adalah Pusat Penelitian dan Kajian Strategis tentang Islam di Timur Tengah atas biaya Smith Richardson Foundation, berpusat di Santa Monica (California dan Arington Virginia, Amerika Serikat (AS). Pada mulanya institusi ini menjadi satu bagian dari industri pertahanan Amerika Serikat, yaitu Douglas Aircraft Company. Douglas Aircraft Company memiliki berbagai divisi, termasuk divisi pengembangan persenjataan militer dan inteligen. Pertimbangan geopolitik Amerika Serikat menjadi penyebab pemisahan unit analisis intelijen dan militer dari Rand Corporation. Pemisahan unit analisis berdampak pembentukan Rand Corporation yang beralih menjadi think-tank (gudang pemikir) dimana dana operasionalnya berasal dari proyek-proyek penelitian pesanan militer. Sebagai lembaga think-tank (gudang pemikir) AS yang memberikan jasa informasi kepada Pentagon, RAND menciptakan suatu agenda dan strategi AS di masa depan mengenai perang melawan \"Terorisme\", isi dokumen RAND menyimpulkan bahwa AS harus menghentikan “Perang Melawan Teror” nya dan mengubah strateginya dalam melawan terorisme, dari strategi yang mengandalkan kekuatan militer menjadi strategi yang lebih mengandalkan kebijakan dan kerja-kerja “Intelijen”. Program terpopulernya adalah *\"War on Terrorism\" dan juga Hasil penelitian kajian lembaga ini telah diturunkan dalam bentuk sejumlah Laporan Resmi, yang antara lain berjudul, Civil Democratic Islam ditulis tahun 2003 oleh Cheryl Benard, dan  Building Moderate Muslim Networks ditulis tahun 2007 oleh Cheryl Benard, Lowell H.Schwartz, dan Peter Sickle Lebih jauh dalam hasil studinya RAND Corporation mengatakan : “AS sudah seharusnya tidak lagi menggunakan frasa ‘Perang Melawan Terorisme’. para pelaku terorisme harus dilihat dan disebut sebagai pelaku tindak kriminal, dan bukan disebut sebagai pasukan perang suci. persoalan ini bukan sekedar masalah bahasa. Istilah yang kita gunakan untuk menjelaskan strategi kita dalam melawan terorisme sangatlah penting, karena hal ini akan mempengaruhi kekuatan apa yang akan digunakan.“ Inti dari garis besar dokumen RAND berisi kebijakan AS dan sekutu di Dunia Islam. Inti tujuannya adalah mempeta-kekuatan (mapping), sekaligus memecah-belah dan merencanakan konflik internal di kalangan UMAT ISLAM melalui berbagai (kemasan) pola, program bantuan, termasuk berkedok Capacity Building dan lainnya. Dalam berbagai laporan hasil kajiannya, Rand Corporation memetakan Gerakan Islam sesuai dengan kepentingan Barat, yaitu menjadi empat kelompok, Fundamentalis, Tradisionalis, Modernis, dan Liberalis. Dalam rincian setiap kelompok tersebut, diuraikan tentang karakter, ciri, status dan cara penanganan tiap kelompok. Yang pasti, dokumen-dokumen hasil penelitian tersebut sangat subyektif karena memandang sesuatu berdasarkan kepentingan Barat semata. Rand Corporation kemudian menandai kelompok Islam yang diteliti itu dengan status yang sudah direkayasa. Misalnya, kelompok Fundamentalis diberi status “Berbahaya” dan penanganannya adalah “Dihabisi”. Sedangkan kelompok Tradisionalis berstatus “Waspada”, Kelompok Modernis berstatus “Aman”, adapun kelompok Liberalis dengan status “Sangat aman” ISIS menjadi isu terorisme di media-media mainstream saat ini, sesuai dengan yang ada pada dokumen RAND, ini merupakan strategi mereka untuk propaganda memecah-belah di dalam konflik internal kalangan umat Islam, dengan maksud tujuan melabeli ISLAM ADALAH TERORIS yang patut diperangi, padahal Islam tidaklah seperti yang digambarkan. Dalam dokumen lainnya yang senada, Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council) atau NIC pada Desember 2004 membuat sebuah dokumen bertajuk \"Mapping The Global Future.\" Tugas NIC sendiri ialah meramal masa depan dunia. Tajuk NIC di atas pernah dimuat di USA Today pada 13 Februari 2005, juga dikutip oleh Kompas edisi 16 Februari 2005. Desember 2004, Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council/NIC) membuat dokumen bertajuk Mapping The Global Future yang meramal masa depan dunia tahun 2020. Baca: Global Trends Mapping the Global Future 2020 Project Inti laporan NIC tentang perkiraan situasi tahun 2020-an. Rinciannya ialah sebagai berikut : Dovod World : Kebangkitan ekonomi Asia, dengan China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia; Pan Americana : Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS; A New Chaliphate : Bangkitnya kembali Khilafah Islamiyah, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat. Cycle of Fear : Muncul lingkaran ketakutan (phobia). Yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi kekacauan di dunia – kekerasan akan dibalas kekerasan. Penulis utama laporan ini, Angel Rabasa, mengatakan bahwa; “Amerika Serikat memiliki peran penting untuk bermain di level moderat. Apa yang dibutuhkan pada tahap ini adalah untuk memperoleh pelajaran dari pengalaman Perang Dingin, menentukan penerapan mereka ke kondisi dunia Islam saat ini, dan mengembangkan sebuah “Road Map” untuk pembangunan Muslim moderat dan jaringan muslim liberal.\" Masih menurut dokumen ini, mereka mendukung muslim moderat dan liberal di Asia Tenggara menggunakan media untuk merespon dengan cepat dan efektif paham radikalisme ke masyarakat, yang menyebabkan dua kubu saling bersebar angan untuk menimbulkan perpecahan. Langkah pertama, melakukan pengelompokan umat Islam menjadi 4 (empat) berdasarkan kecenderungan dan sikap politik terhadap Barat dan nilai-nilai demokrasi. Pertama : Kelompok fundamentalis, yaitu kelompok yang dinilai menolak nilai-nilai demokrasi dan budaya Barat serta menginginkan sebuah negara otoriter yang puritan yang akan dapat menerapkan Hukum Islam. Kedua : Kelompok tradisionalis, yaitu kelompok yang menginginkan suatu masyarakat yang konservatif. Ketiga : Kelompok modernis, yaitu kelompok yang menginginkan Dunia Islam menjadi bagian modernitas global. Mereka juga ingin memodernkan dan mereformasi Islam dan menyesuaikan Islam dengan perkembangan zaman. Keempat : Kelompok sekular, yaitu kelompok yg Kelompok Dunia Islam dapat menerima paham sekular dengan cara seperti yang dilakukan negara-negara Barat, dimana agama dibatasi pada lingkup pribadi saja. Langkah berikutnya adalah mendukung satu pihak dan menjatuhkan pihak lain serta membenturkan antar kelompok. Pertama: Dukung kelompok modernis dengan mengembangkan visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis. Caranya dengan memberikan arena yang luas agar mereka dapat menyebarkan pandangan mereka. Mereka harus dididik dan diangkat ke tengah-tengah publik untuk mewakili wajah Islam kontemporer. Kedua : Dukung kelompok tradisionalis sebatas untuk mengarahkan mereka agar berlawanan dengan kelompok fundamentalis dan untuk mencegah pertalian yang erat di antara mereka; menerbitkan kritik kaum tradisionalis atas kekerasan dan ekstremisme yang dilakukan kaum fundamentalis; mendorong perbedaan antara kelompok tradisionalis dan fundamentalis; mendorong kerjasama antara kaum modernis dan kaum tradisionalis yang lebih dekat dengan kaum modernis; juga mendorong popularitas dan penerimaan atas sufisme. Ketiga : Dukung kelompok sekularis secara kasus-perkasus dan mendorong pengakuan fundamentalisme sebagai suatu musuh bersama; mendorong ide bahwa agama dan negara dapat dipisahkan, dan hal ini tidak membahayakan keimanan tetapi malah akan memperkuatnya. Keempat : Musuhi kelompok fundamentalis dengan menunjukkan kelemahan pandangan ke Islaman mereka; mendorong para wartawan untuk mengekspos isu-isu korupsi, kemunafikan dan tidak bermoralnya kaum fundamentalis, pelaksanaan Islam yang salah dan ketidakmampuan mereka dalam memimpin dan memerintah. Posisikan mereka sebagai pengacau dan pengecut, bukan sebagai pahlawan, serta dorong perpecahan antara kaum fundamentalis. RAND dalam kesimpulannya juga mengatakan bahwa; \"AS sudah gagal dalam menerapkan strategi melawan terorisme dengan mengandalkan kekuatan militer. AS tidak mampu secara efektif melakukan kampanye melawan terorisme dalam jangka panjang, terutama terhadap kelompok al-Qaidah dan kelompok-kelompok yang oleh AS dianggap kelompok terorisme tanpa memahami bagaimana kelompok terorisme itu akan berakhir.\" kata Seth Jones, penulis dari hasil studi yang juga pakar politik. “Dari sejumlah fakta, kekuatan militer terbukti terlampau tumpul jika digunakan sebagai instrumen untuk melawan kelompok-kelompok terorisme. Kekuatan militer efektif hanya tujuh persen dari kasus-kasus yang diteliti.” sambung Jones. Jokowi Kutip Artikel Rand Corporation Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengklaim pernyataanya mengenai \'propaganda Rusia\' tidak ada sangkut pautnya dengan negara yang dipimpin Presiden Vladimir Putin. Dia menyatakan mengutip istilah itu dari sebuah artikel yang diterbitkan RAND Corporation, sebuah lembaga pemikir (think tank) dan analis kebijakan global di Amerika Serikat. radarcirebon.com menelusuri artikel yang dimaksud Jokowi, ditemukan The Russian \"Firehose of Falsehood\" Propaganda Model Why It Might Work and Options to Counter It Baca: The Russian \"Firehose of Falsehood\" Propaganda Model Российская модель пропаганды «Пожарный шланг с потоками лжи»: Почему это работает и каковы способы ей противостоять Artikel tersebut merupakan analisa penelitian terkait terpilihnya Donald Trump dengan kemiripan metode yang digunakan oleh Vladimir Putin saat menganeksasi Crimea (2014) dan Georgia (2008). Dalam publikasi tersebut, Christoper Paul dan Miriam Matthews menjelaskan bahwa Rusia mengunakan teknik kebohongan yang diproduksi secara masif dan simultan melalui media-media pemberitaan yang mereka miliki. Kemudian teknik ini diadopsi oleh Donald Trump pada saat Pilpres AS. Pada dasarnya, teknik ini menggunakan obvious lies atau kebohongan tersurat yang direncanakan untuk membangun ketakutan. Sebagai propaganda, cara ini dinilai sangat efektif sebab memengaruhi bagian otak yang disebut amygdala – bagian otak yang bertanggung jawab untuk mendeteksi rasa takut dan mempersiapkan diri pada kondisi darurat. Sementara itu, untuk bekerja secara efektif, obvious lies memiliki empat karakter kunci. Yang pertama adalah diproduksi secara masif dan disebarkan melalui berbagai media pemberitaan. Artinya, informasi fiktif diproduksi dengan kuantitas tinggi dan disiarkan melalui banyak media berupa teks, audio dan video. Yang kedua adalah, bergerak dengan cepat, terus menerus dan berulang. Artinya, pemberitaan ini harus diberitakan dengan masif, terus menerus dan berulang. Kemudian yang ketiga, tidak adanya komitmen pada realita atau fakta. Artinya pemroduksi propaganda ini acuh kepada komitmen. Kendatipun kebohongan itu mudah dibongkar, mereka akan cuek dan melenggang kangkung. Dan yang terakhir, karakter ini tidak memiliki komitmen pada konsistensi. Artinya, konsistensi pada berita bohong yang diproduksi adalah persoalan belakangan, bisa saja dalam sekejap berita itu diklarifikasi dengan pernyataan berbeda, namun kebenaran berita tersebut juga belum bisa dibuktikan. Yang terpenting adalah berita pertama sudah tersebar dan didistribusikan dengan metode seperti pada karakter pertama dan kedua. Pertautan empat karakter tersebut penting dan akan efektif memainkan isu yang beredar. Perpaduan antara prinsip iklan dan kelonggaran dalam konsistensi ini menimbulkan perpaduan yang aneh, namun efektif untuk menciptakan kebimbangan dan rasa takut pada masyarakat. Tentu saja, dua karakter terakhir menjadi menarik untuk memainkan peran dalam membentuk propaganda. Jika merujuk pada penelitian Standford History Education Group, masyarakat cenderung mudah menerima berita bohong atau hoaks karena adanya keputusan dari dalam diri untuk membiarkan hal-hal yang sebenarnya keliru mengambil alih pikiran. Ada kecenderungan alami manusia untuk mengedapankan emosi ketimbang rasional, sehingga biasanya seseorang akan mencari jawaban yang paling mudah atau yang paling sesuai dengan preferensi dirinya, misalnya tentang keyakinan politik. Hal ini sejalan dengan cara kerja keempat karakter yang disebutkan sebelumnya sebab secara psikologis, obvious lies akan menyerang amygdala dalam struktur otak, sehingga mudah untuk membangun sebuah ketakutan. Di AS sendiri, Trump menggunakan fake news kala itu, seperti misalnya pernyataan tentang sertifikat lahir Barrack Obama palsu dan Obama atau Hillary Clinton adalah pendiri ISIS, yang mana informasi ini tidak jelas kebenarannya. Di lain kesempatan, Trump menuduh moderator debat presiden saat itu, Laster Holt, sebagai orang Partai Demokrat, sehingga tidak fair. Padahal, ternyata Holt bukan orang Demokrat. Namun, Kellyanne, asisten Trump, meyakinkan bahwa Trump tidak berbohong. Menurutnya, pendapat Trump yang mengaku tidak mengetahui pilihan politik Holt adalah bukan sebuah kebohongan, melainkan kebenaran alternatif atau alternative fact. Trump nyatanya dengan mudah membuat kebohongan dengan kuantitas terhitung banyak. Lalu, ia seolah tidak berpegang teguh pada berita bohong yang telah dibuatnya dan dengan mudah beralasan dengan pernyataan-pernyataan yang belum tentu bisa diukur tingkat kebenarannya. Alih-alih menyadari bahwa informasi yang disampaikan dalah sebuah kebohongan, ia malah berdalih dengan alternative facts. Melalui sejumlah penelitian di AS, perilaku Trump tersebut membuat masyarakat bimbang dan pada akhirnya mempercayai pemberitaan yang beredar. Bahkan, ketika sudah dilakukan fact checking, hal tersebut tidak mengubah opini dari konstituen. Sementara jurnalis Amerika-Rusia, Masha Gessen menyebut bahwa pertalian antara firehosing dengan fact checking tidak selalu berkaitan dengan persuasi kepada publik, namun juga terkait dengan poweryakni kekuataan yang digunakan oleh seseorang untuk mempermainkan kebenaran. Misalnya adalah kebohongan tersurat yang dilakukan oleh Trump terkait dengan Holt yang bisa disebut sebagai alternative fact. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: