Tokoh Pers: Kwee Thiam Tjing dan Misteri Tjamboek Berdoeri

Tokoh Pers: Kwee Thiam Tjing dan Misteri Tjamboek Berdoeri

\"Tidak ada barang sedikitpun dalam pikiran saya juga hendak mengecilkan, menghina atau memandang rendah golongan manapun juga, segala kejadian dan pengalaman itu harus ditempatkan dalam keadaan yang berada di sekitar kami di masa itu.\" \"Penuturan tentang hal itu semua bermaksud memberikan lukisan pada saudara-saudara wartawan sekarang, kaum wartawan zaman Indonesia Merdeka!,\" pesan Kwee Thiam Tjing dikutip dalam kolom yang dimuat di Harian Indonesia Raya yang berjudul \"Kenangan Pada Masa Jang Lalu\", 22-26 Juli 1971 - Tangisan Ibu \"Tjamboek Berdoeri\" Di Penjara Kalisosok. Kwee Thiam Tjing atau dirinya menyebut dengan nama samaran Tjamboek Berdoeri, pernah masuk bui karena kecaman kerasnya terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Jika ia masih hidup tentunya sekarang umurnya adalah 119 tahun. Kwee Thiam Tjing (lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 9 Februari 1900 – meninggal di Jakarta, 28 Mei 1974 pada umur 74 tahun) adalah seorang jurnalis Indonesia. Ia menempuh pendidikannya di ELS (Europeesch Lagere School) di kota Malang dan kemudian terjun ke dunia jurnalisme. Ia menguasai bahasa Belanda, Jawa, Madura, dan Hokkian. Bahan-bahan tulisannya mencakup segala lapisan masyarakat: kawan-lawan, lelaki-perempuan, dan tua-muda. Pada 1926 ia dikenai sembilan delik pers, sehingga terpaksa mendekam selama sepuluh bulan di penjara Kalisosok, Surabaya dan penjara Cipinang, Jakarta. Kejadian ini dicatat dalam artikel \"Tanggal Paling Tjilaka\" di Soeara Publiek, Surabaya 5 Januari 1926. Tulisan-tulisannya banyak dimuat di berbagai penerbitan saat itu, seperti Pewarta Soerabaia, Soeara Poeblik (menjadi Hoofredactuer antra 20 Juni - 12 Juli 1929 baca Satoe peladjaran dalem pengidoepan), Sin Tit Po, Matahari Semarang hingga Indonesia Raja. Kwee sendiri mengelola langsung Pembrita Djember. Ia juga menulis karya dengan nama samaran Tjamboek Berdoeri. Pada pertengahan 1947 kota Malang berubah menjadi lautan api. Kwee melaporkan kejadian-kejadian itu dengan cermat hingga tragedi Mergosono yang mungkin telah banyak dilupakan orang. Berbagai kejadian yang diamatinya itu, termasuk masa-masa sebelumnya yang terjadi pada masa paling kacau di Indonesia (1939-1947) ditulisnya dalam sebuah buku setebal 200 halaman dengan menggunakan kertas merang, tanpa penerbit (ternyata Perfectas Di Petjinan Malang sebagai penerbitnya) dan nama pengarang (namun Kwee Thiam Tjing sendiri memberikan pengantar di buku tersebut menggunakan nama aslinya). Isinya adalah sebuah catatan peringatan untuk anak-cucu, sebuah kenangan yang diberinya judul \"Indonesia dalem Api dan Bara\". Setelah terbitnya buku kenangan itu, Kwee lama menghilang dari dunia jurnalisme Indonesia. Baru 24 tahun kemudian ia mendadak muncul kembali dalam sebuah tulisan semacam obituari di harian \"Indonesia Raya\" yang dikelola Mochtar Lubis. Tulisannya muncul dalam 34 judul dengan 91 edisi penerbitan selama 1971-1973. Pada akhir Mei 1974. Kwee Thiam Tjing mempunyai kolom khusus di kolom Pewarta Soerabaia yang bernama \"Tjorat-Tjaret Hari Saptoe\" yang diisinya dari 12 Juli 1924 - 7 Maret 1925, ia juga mempunya kolom khusus dalam kolom Soeara Poeblik yang diberi nama \"Pridato Hari Saptoe\". Ia pertama kali menulis mulai 8 April 1925 hingga 11 Juni 1929, selain itu ia juga memiliki kolom khusus di kolom Matahari yang bernama \"Ngelamoen Malem Minggoe\", \"Oering-oeringan\" dan \"Gandjelan\" dari tanggal 1 Oktober 1934. Ben Anderson, seorang Indonesianis asal Amerika, menemukan buku di sebuah kios barang antik di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat pada tahun 1963. Maklum, buku yang terbit pertama kali di kota Malang pada tahun 1947 ini tidak memperkenalkan nama asli pengarang maupun penerbitnya. Satu-satunya nama yang tercantum adalah Kwee Thiam Tjing yang memberi kata pengantar buku ini. Dalam pengantarnya, Kwee mengaku disuruh oleh si pengarang untuk menerbitkan buku ini sebagai catatan peringatan bagi generasi mendatang. Misteri Tjamboek Berdoeri baru tersingkap pada tahun 2001 ketika tim peneliti yang dikerahkan Anderson berhasil menemui seorang sahabat lama Kwee Thiam Tjing di Malang. Menurutnya, Tjamboek Berdoeri adalah Kwee Thiam Tjing itu sendiri. Sementara keberadaan Kwee Thiam Tjing baru terlacak pada tahun 2002 ketika Anderson secara kebetulan bertemu seseorang yang mengenal keluarga Kwee Thiam Tjing di Jakarta. Setelah memperoleh informasi yang cukup, Ben Anderson menerbitkan kembali buku Indonesia dalem Api dan Bara dengan tetap mempertahankan keaslian bahasa dan ejaannya. Penerbitan kali ini disertai konteks sejarah kota Malang, dokumen foto-foto pendukung, dan riwayat hidup Kwee Thiam Tjing. Tiga tahun setelah menulis buku Indonesia dalem Api dan Bara, Kwee Thiam Tjing pindah ke Malaysia. Ia baru pulang kembali ke Indonesia pada tahun 1970 dengan memilih tempat tinggal di Jakarta. Di masa tuanya Kwee kerap menulis artikel untuk koran Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis. Sekitar lima bulan setelah Indonesia Raya dibredel, persisnya pada tanggal 28 Mei 1974, Kwee meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman Tanah Abang I (kini Taman Prasasti) di Jakarta. Ketika pemakaman Tanah Abang I digusur, makam Kwee digali kembali dan tulang-belulangnya dikremasikan dan abunya ditabur ke Laut Jawa. Tak satupun media massa menyiarkan kematiannya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: