Si Kabayan Manusia Setengah Dewa
Kalau ada manusia imajiner Sunda yang mancala putra mancala putri, dia adalah Si Kabayan. Sosoknya sangat legendaris, menjadi bagian dari kekayaan alam batin manusia Sunda. Kabayan pernah memerankan diri sebagai dukun (Moh Ambri), juragan (Adang S), sufi (Yus R Ismail), nongol pada zaman Jepang (Achdiat K Mihardja), wartawan (Muhtar Ibn Thalab), bahkan jurik (Tini Kartini). Di tangan Min Resmana, Si Kabayan malah muncul dalam Pangantenan (1966), Kasurupan (1966), Ngandjang Kapageto (1966), Raja Manaboa (1966), dan Petapa (1967). Apalagi ketika bermain di layar kaca, Kabayan beralih peran dalam Si Kabayan Mencari Jodoh (1994), Si Kabayan Saba Kota, Si Kabayan dan Gadis Kota, Si Kabayan Saba Metropolitan, dan Si Kabayan: Bukan Impian (2000). Tentu saja salah satu sisi menarik Si Kabayan adalah rasa humornya yang sangat tinggi. Hal itu mengingatkan memori kolektif kita kepada Ali Baba atau Nashruddin Khaja di Timur Tengah. Ia cerdas, jenaka, kritis, serta memandang segala sesuatu dengan sinis lewat bahasa yang ramah dibaur kelakar. Dalam perspektif Si Kabayan semua persoalan menjadi cair. Hidup yang rumit atau mungkin keadaan ekonomi yang mencekik disikapi dengan sederhana. Wilayah pengalaman keagamaan pun diimani tidak dengan fanatisme membabi buta, tetapi dengan penghayatan biasa yang justru mampu menyelami aspek substansinya. Ketika berbicara tentang seksualitas, Kabayan mengungkapkan dengan detail tanpa harus jatuh dalam alur cerita pornografis sebagaimana dengan bagus ditulis Ayatrohaedi (alm) dalam makalahnya, “Si Kabayan: Cawokah atau Jorang?”, dalam seminar “Seks, Teks, Konteks: Tubuh dan Seksualitas dalam Wacana Lokal dan Global” (2004). Ambivalensi Apakah Si Kabayan mencerminkan manusia yang ambivalen? Rassers (1941) menyebutnya demikian, di mana dunia ketuhanan dapat dipadukan dengan dimensi kemanusiaan. Si Kabayan menjadi semacam manusia setengah dewa. Utuy T Sontani (1920-1979) menyebutnya sebagai manusa anu geus teu nanaon ku nanaon, manusia yang selalu berada di titik moderat, ngajegang antara ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Dalam tafsir Haji Hasan Mustapa, sufi besar Sunda yang konon disebut-sebut sebagai yang pertama bersama Snouck Hurgronye menghimpun dongeng rakyat Si Kabayan, disebutkan, Lamun jalma kudu ngagugu kabeh kana kahayang batur, tangtu ripuh anu ngagugu ngenah anu digugu//Lamun jalma embung ngagugu kana kahayang batur, tangtu ripuh nu hayang digugu, ngenah nu embung ngagugu//Anu matak rapihna lamun silih gugu, satengah jeung satengah, sakadar henteu matak ripuh salah saurang. Bukankah orang dengan filsafat moderasi seperti ini yang dapat kita kategorikan sebagai orang yang akan meraih top leader dan pada gilirannya akan membuka jalan untuk perubahan yang diinginkan? Hal itu lebih lanjut ditulis Haji Hasan Mustapa, Kaula ayeuna ngawakcakeun jalan karahayuan, yen urang sugria manusa kajajaden taya nu boga. Pusakana nyaah ka sasama, jadi rapih pada sili pihapekeun diri, rumasa pada dadasar sabar tawekal (Sekarang saya menjelaskan jalan kesejahteraan, yaitu kita semua merupakan manusia ciptaan, tidak ada yang memiliki. Kuncinya, kasih kepada sesama, damai saling menitipkan diri, merasa berpijak pada sikap sabar dan pasrah). Sosoknya yang teu nanaon ku nanaon juga mencerminkan manusia yang mampu melampaui hasrat dirinya untuk tidak terserap dalam kuasa, benda, dan wibawa. Ia menjadi semacam diri yang tidak kemudian asin ketika dilemparkan ke tengah lautan. Ia mampu mengontrol harta, bukan sebaliknya dikontrol harta. Dalam paradigma keagamaan, teu nanaon ku nanaon juga menyiratkan Si Kabayan sebagai manusia yang tidak pernah reureuh (berhenti) mencari kebenaran walaupun ia, misalnya, harus meruntuhkan kekeramatan lembaga kekiaian atau mungkin memerankan diri sebagai dukun dan jurik. Peran-peran sosial itu dilakoninya dengan rasa jenaka, riang, dan gembira. Sikap jenaka dan humor tampaknya dijadikan media, bukan hanya pelepasan untuk menghibur diri dan mengkritik orang lain, tetapi justru mengkritisi dirinya sendiri. Bagaimana, misalnya, kita pernah mendengar dialog Kabayan dengan Lamsijan. Kabayan selalu tertawa ketika menemukan jalan menanjak, tetapi mencucurkan air mata manakala jalan itu menurun. Ternyata jawaban yang diberikan kepada Lamsijan sangat telak, “Kalau kita menanjak, artinya kita akan menemukan jalan yang menurun. Sebaliknya, jalan menurun memastikan kita untuk menapaki jalan menanjak.” Otokritik Selama ini, diakui atau tidak, justru sosok Kabayan mengalami reduksi pencitraan. Yang muncul ke permukaan adalah Kabayan dengan wajah tunggal: sebagai representasi dari manusia malas dan tidak serius. Pencitraan ini kemudian digeneralisasi untuk mengilustrasikan masyarakat Sunda sehingga muncul stereotip seperti itu. Kekalahan manusia Sunda untuk mengartikulasikan kiprah politik, sosial, dan ekonominya mendapatkan basis legitimasi kultural melalui Kabayan yang telah mengalami pemaknaan reduktif. Seiring dengan ini pula mencuat budaya menyimpang: kurung batokeun, komunikasi heurin ku letah, bengkung ngariung bongkok ngaronyok, pakia-kia, paaing-aing, dan lain-lain seraya entah ke mana absennya budaya positif, semisal siger tengah (moderat), geude wawanen (vokal membela kebenaran), ulah cueut ka nu hideung ulah ponteng ka nu koneng (tegas dalam membela kebenaran), someah hade ka semah (terbuka dan transparan), serta ngajaga lembur, akur jeung dulur, panceg na galur. Di titik inilah manusia Sunda berdiri di simpang jalan. (*) Penulis: Dr. Asep Salahudin, Sufisme Sunda: Hubungan Islam dan Budaya dalam Masyarakat Sunda (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: