Di balik Kunjungan Delegasi Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar ke Indonesia

Di balik Kunjungan Delegasi Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar ke Indonesia

JAKARTA-Pertemuan antara Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla (JK) dengan delegasi Taliban dari Afghanistan di Jakarta pekan lalu (27/7/2019) disambut positif sejumlah pihak. Meski diharapkan berperan sebagai mediator, Indonesia bisa terganjal sejumlah keterbatasan. Terdapat beberapa poin utama perlu dicatat, poin Utama Taliban:

  • Pertemuan JK-delegasi Taliban disambut positif sejumlah kalangan
  • Indonesia harus berani menempatkan dirinya sebagai penengah konflik sehingga posisinya tidak diremehkan
  • Tantangan bagi Indonesia adalah keterbatasan jaringan atau network di tengah hadirnya aktor internasional dalam konflik Afghanistan
Kedatangan delegasi Taliban ke Indonesia dipimpin Kepala Biro Politik Mullah Abdul Ghani Baradar, yang juga wakil dari pemimpin Taliban di Afghanistan. Media setempat melaporkan, delegasi Taliban lainnya terdiri atas Abdussalam Hanafi (wakil kepala biro politik), Syekh Amir Khan Muttaqi (anggota dewan syura) Mullah Nur Ulaa Nuri (anggota biro politik dan mantan menteri informasi), Syekh Abdul Haq Wasiq (anggota biro politik dan mantan gubernur), Syekh Khair Ulla Khaikhwa (anggota biro politik dan mantan wakil kepala badan intelijen), Muhammad Suhail Syahin (juru bicara Taliban dan mantan menteri dalam negeri), serta Ali Shed (pengawal Mullah Baradar). Pertemuan Taliban dari Afghanistan ini,  mengingatkan bahwa Afghanistan termasuk negara paling awal yang mengakui Republik Indonesia, yaitu pada 15 September 1947. Dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, Zein Hassan menyebut pengakuan Afghanistan dimuat dalam harian Al-Ahram, 19 September 1947, yang menyiarkan “Pemerintah Afghanistan telah mengakui Republik Indonesia dan telah mengawatkan kepada dutanya di Washington DC supaya menyampaikan kepada Dr. Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia.” Pada 4 November 1947, Zein menjadi penerjemah Sutan Sjahrir, utusan khusus presiden Republik Indonesia, dalam pertemuan dengan Sadik El-Mujaddidi, duta besar Afghanistan di Kairo, Mesir. “Dalam suasana gembira, Bung Sjahrir menyampaikan terima kasih kepada Afghanistan atas pengakuannya terhadap Republik Indonesia,” kata Zein. “Dengan demikian, Afghanistan adalah satu-satunya negara di luar negara-negara Liga Arab yang mengakui de facto dan de jure kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia sampai Belanda mengakuinya pada Desember 1949.” Setelah mengakui Republik Indonesia, Afghanistan mengirimkan perwakilan resmi ke Indonesia dengan menembus blokade Belanda. “Abdul Mounem dari Mesir sebagai Konsul Jenderal dan Abdurrachman dari Afghanistan sebagai Kuasa Politik berhasil menembus pengurungan Belanda dan dengan menumpang pesawat udara selamat tiba di Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia,” kata Ahmad Subardjo dalam otobiografinya, Kesadaran Nasional. Pemerintah Afghanistan juga meminta kepada Sutan Sjahrir supaya mengirimkan wakil Republik Indonesia ke Afghanistan. Pemerintah Indonesia pun menempatkan Abdul Kadir di Afghanistan. Namun, Belanda protes menyebut Indonesia melanggar Perjanjian Renville. Menteri Penerangan M. Natsir menjelaskan bahwa penempatan Abdul Kadir di Afghanistan sebagai tindak lanjut dari hubungan Indonesia dan Afghanistan yang dimulai sejak Afghanistan mengakui de jure Republik Indonesia pada 15 September 1947. Abdul Kadir berangkat ke Afghanistan pada 28 Desember 1947 sebelum Perjanjian Renville ditandatangani dan pertempuran antara Indonesia dan Belanda masih terjadi di sana-sini. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: