China Mulai Berlakukan PHK Massal

China Mulai Berlakukan PHK Massal

BEIJING - Bisnis di China kian lesu. Wabah virus Corona yang terus mengegrus negara itu, tidak hanya berdampak merosotnya daya beli masyarakat lokal hingga komoditas ekspor. Efek negatif lain, adanya misi pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal akibat meruginya perusahaan. Imbasnya 4,5 juta warga terancam menganggur.

Mark Xia seorang pegawai di rumah produksi video Shanghai mengkhawatirkan kondisi yang ada. Pasalnya sejak dirinya mengambil cuti tiga bulan, hingga kini tak ada gaji atau penjelasan mengenai upah yang seharusnya diterima.

”Saya mengerti kondisi arus-kas perusahaan yang sedang sulit. Perusahaan menunda pembayaran, dari sejumlah pengambilan gambar dalam bentuk audio visual yang sudah kami kerjakan. Tentus saja ini berdampak besar pada pendapatan kami, itulah kenyataannya,” tutur Xia (25) kepada Reuters, Rabu (19/2).

Menghadapi kondisi ini, Xia sedang mencari pekerjaan paruh waktu setelah perusahaan menolak permintaannya untuk membayar setengah dari gaji bulanannya selama penangguhan, dan tidak memberinya pilihan selain mengundurkan diri. ”Saya sendiri harus cari alternatif, di tengah kondisi susah ini. Ini tentu saja tidak mudah,” imbuhnya.

Xia merupakan satu dari jutaan warga Tiongkok yang kehilangan pekerjaannya di tengah wabah virus Corona yang telah menewaskan lebih dari 2.000 orang dan menginfeksi lebih dari 72.000 orang.

Parahnya lagi, wabah virus Corona memicu pembatasan perjalanan dan pengetatan aktivitas masyarakat. Akibatnya banyak bisnis tutup dan pasokan barang serta jasa terganggu.

Banyak perusahaan kecil menghadapi krisis keuangan karena kurangnya pesanan sehingga memaksa perusahaan memberhentikan pekerja dan mengurangi gaji pegawai agar bisa bertahan. Namun wabah virus Corona itu belum menunjukkan tanda-tanda kapan berakhirnya.

Setiap kenaikan pesat angka pengangguran dapat menimbulkan tantangan besar bagi para pemimpin yang terobsesi dengan stabilitas China. Negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah merosot dan mendekati posisi terendah dalam tiga dekade terakhir.

Hanya 34 persen dari hampir 1.000 perusahaan kecil dan menengah dapat bertahan selama satu bulan dengan arus kas. Ini berdasarkan survei terbaru dari Universitas Tsinghua dan Universitas Peking. Bahkan ada yang menyebut kondisi keuangan mayorita perusahaan hanya bisa bertahan selama dua bulan.

Sementara 18 persen lainnya mengatakan mereka bisa bertahan selama tiga bulan. ”Mungkin ada pemutusan hubungan kerja (PHK) masal. Ini juga tidak bisa dipungkiri, akibat produksi melemah, daya jual drop,\" ujar Kepala Ekonom Zhongyuan Bank Wang Jun, yang berbasis di Beijing.

Wang Jun juga menganalisa adanya persamaan dengan kondisi tahun ini dengan tahun 2002-2003, merujuk pada wabah Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS). ”Saya pikir lebih tepat untuk membandingkan dampak saat ini dengan krisis global, daripada dampak SARS,” tambahnya.

Ya, selama krisis keuangan global 2008 dan 2009, sekitar 20 juta pekerja migran Tiongkok kehilangan pekerjaan karena ekspor anjlok. Itu mendorong Beijing mengeluarkan paket stimulus yang besar. Kebijakan itu mendorong pertumbuhan ekonomi secara cepat, tetapi membebani perekonomian dengan utang.

Namun pada tahun 2002 dan 2003, ekonomi Tiongkok tetap berada di atas pondasi yang kokoh meskipun terjadi wabah SARS. Pekan lalu, kabinet berjanji untuk mencegah PHK masal dan mengatakan kepada pemerintah daerah untuk membantu menstabilkan pekerjaan dengan menarik asuransi pengangguran dan dana serupa.

Perusahaan-perusahaan di sektor jasa mulai dari restoran, hotel, toko, bioskop dan agen perjalanan, telah mengalami kerugian yang cukup besar akibat wabah virus Corona. ”Situasi kerja pada kuartal pertama dalam kondisi baik. Namun, jika wabah virus Corona tidak dapat diatasi pada akhir Maret, maka dari kuartal kedua, kita akan melihat PHK besar,” tutur Dan Wang, seorang analis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: