Indonesia Dilanda PHK Besar-besaran

Indonesia Dilanda PHK Besar-besaran

JAKARTA - Di tengah pemerintah Indonesia mendorong perekonomian, akan tetapi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di beberapa sektor terus terjadi. Yang terbaru PHK ratusan karyawan PT Indosat Tbk (ISAT)

Lebih dari 600 karyawan Indosat mendapat penawaran untuk mengundurkan diri pada 14 Februari 2020 oleh manajemen dengan imbalan akan mendapatkan kompensasi.

PHK yang jauh lebih besar juga terjadi pada sektor manufaktur, yakni PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Perusahaan produksi baja pelat merah itu akan akan merumahkan ribuan pekerjanya.

Menurut Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPPHI) Kemenaker, John Daniel Saragih, kasus PHK besar-besaran yang terjadi pada dua sektor itu berbeda. “Krakatau Steel akibat persaingan usaha. Sedangkam, kasus Indosat sebagai upaya restrukturisasi ataupun efisiensi,” ujarnya.

Dalam menyelesaikan kasus tersebut, katanya, untuk di Indosat bisa diselesaikan secara internal karena sebagian besar menyetujui dengan skema menerima paket kompensasi. Sedangkan untuk PT Krakatau Steel, kasusnya harus ditengahi oleh pemerintah setempat.

Persoalan PHK, menurutnya, memang masalah yang cukup kompleks. Artinya harus tetap mengikuti prosedur dan tidak mengenyampingkan dalam penyelesaian masalah secara kekeluargaan.

“Sesuai UU Ketenagakerjaan, persoalan PHK itu wajib diselesaikan musyawarah mufakat yang ada di Pasal 136 UU 13 tahun 2003. Setiap penyelesaian proses industrial, wajib diselesaikan secara musyawarah mufakat,” katanya.

Terpisah, Kepala Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan, dalam mengatasi angka pengangguran yang utama bagaimana pemerintah bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya.

“Untuk mengantisipasi kenaikan pengangguran pemerintah perlu fokus kepada pertumbuhan ekonomi. Sebab hanya dengan pertumbuhan ekonomi yanga tinggi akan tercipta lapangan kerja yang cukup,” ujar Piter.

Ditambah lagi dengan adanya penurunan daya beli dan investasi pada 2019 akan berpotensi rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020. Dijelaskan Pieter, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi tercatat 5,02 persen sepanjang 2019, lebih rendah dibandingkan 2018 sebesar 5,17 persen.

“Kalau (ekonom) Core memperkirakan (pertumbuhan ekonomi) memang di kisaran 5-5,05 persen, tidak akan lebih dari 5,05 persen. Kenapa? Ya karena faktornya pertama dari pertumbuhan konsumsi yang melambat,” ujarnya.

Menurutnya, untuk masyarakat menengah atas lebih cenderung untuk menahan konsumsi. Jadi secara keseluruhan terjadi penurunan konsumsi rumah tangga.

“Jadi daya beli memang untuk kelompok menengah bawah ya. Jadi untuk di kelompok menengah bawah ada penurunan daya beli, dan di kelompok menengah ke atas itu kecenderungannya menahan konsumsi sehingga secara keseluruhan konsumsi memang turun,” jelasnya.

Sebagaimana diketahui, rakatau Steel termasuk perusahaan nasional yang terkena dampak parah dari serbuan baja impor. Selain berdampak pada lini produksi baja, juga berdampak pengurangan tenaga kerja 3.500 orang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: