Indonesia Negara Maju, Begini Analisa Sri Mulyani

Indonesia Negara Maju, Begini Analisa Sri Mulyani

JAKARTA - Indonesia ditempatkan sebagai negara maju oleh United States Trade Representative (USTR). Di tengah kekhawatiran daya saing produk ekspor makin melemah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak sepenuhnya sepaham.

Sri Mulyani menjelaskan, status Indonesia sebagai negara maju hanya berpengaruh kepada tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara untuk eksportir (Countervailing Duties/CVDs).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyatakan, CVD\'s tidak akan berdampak terlalu besar terhadap perdagangan Indonesia lantaran tidak banyak komoditas yang menikmati fasilitas tersebut.

\"Sebenarnya kalau dilihat dari pengumuman itu lebih ke Countervailing Duty. Jadi skopnya itu sangat spesifik untuk CVDs dan CVDs selama ini di Indonesia hanya sekitar 5 komoditas yang menikmati itu. Jadi sebetulnya nggak terlalu besar sekali pengaruhnya kepada perdagangan kita,\" kata Sri Mulyani di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat.

Selain itu, Sri Mulyani bilang, tidak ada pengaruh lain dengan Indonesia menjadi negara maju. Termasuk isu akan kehilangan fasilitas Generalize System of Preference (GSP) atau keringanan bea masuk impor barang ke Amerika Serikat (AS).

\"CVDs ini berbeda dengan GSP. Jadi nggak ada hubunganya dengan berbagai hal yang lain. GSP kan masih belum ditetapkan, jadi kita juga akan tetap melakukan upaya terbaik untuk bisa mendapatkan GSP itu,\" sebutnya.

Untuk itu, Sri Mulyani ingin Indonesia meningkatkan daya saing mulai dari produktivitas, hingga konektivitas. Dengan begitu, bisa menciptakan biaya produksi agar lebih efisien.

Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira berpendapat lain. Banyak hal negatif dengan label negara maju.

Ia berpendapat, dengan label itu, Indonesia tidak lagi menerima Generalized System of Preferences (GSP). Artinya, tidak ada lagi bea masuk rendah untuk ekspor yang masuk ke Amerika Serikat.

Dengan tidak adanya GSP, daya saing produk Indonesia di Amerika Serikat bakal keteteran. \"Ini ujungnya defisit neraca dagang semakinh lebar,\" ujar Bhima.

Defisit neraca dagang pada Januari 2020 mencapai USD864 juta. Sementara di Amerika Serikat, sedikitnya beredar 3.572 produk Indonesia yang selama ini mendapat fasilitas keringanan bea masuk.

Dengan status negara maju, Indonesia harus bersiap-siap. Setidaknya untuk mencari negara lain di mana produk Indonesia memiliki daya saing.

Setidaknya ada waktu beberapa bulan ke depan, karena USTR efektif memberlakukan kebijakan ini di tahun 2021 mendatang. (yud)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: