Mengganti Social dan Physical Distancing, Jaga Jarak, Bukan Anti Sosial

Mengganti Social dan Physical Distancing, Jaga Jarak, Bukan Anti Sosial

Social dan Physical Distancing tengah menjadi keharusan demi kepentingan bersama mengurangi penyebaran corona virus disease (Covid-19). Namun, tinggal di rumah dan membatasi interaksi justru bisa berdampak buruk buat kesehatan mental. Bagaimana sebaiknya?

ORGANISASI Kesehatan Dunia atau WHO menganjurkan pemakaian istilah physical distancing ketimbang social distancing sejak Jumat pekan lalu (20/3). Perubahan ini demi memberi kejelasan kepada masyarakat dunia yang sedang berperang melawan virus corona. Mereka tetap bisa melakukan interaksi sosial, namun harus menjaga jarak secara fisik.

Pemaknaan ini menjadi penting. Menjaga jarak sosial, tentu berbeda dengan menjaga jarak secara fisik. Mengingat jarak sosial dan keterbatasan interaksi justru bakal menyebabkan masalah kesehatan lainnya. Khususnya kejiwaan.

Banyak cara yang bisa dilakukan agar waktu di rumah menjadi lebih berkualitas. Berbagi dan bercerita untuk lebih mendekatkan diri antar sesama anggota keluarga, bisa menjadi pilihan ditengah situasi luaran yang tidak jarang membuat cemas.

Tidak kalah penting, melakukan aktivitas fisik. Seperti berolahraga, ataupun memanfaatkan terik matahari di pagi hari sebagai sarana untuk menghangatkan tubuh.

Cara-cara itu dinilai Psikolog Rini S Minarso SE SPsi MPsi sebagai langkah yang efektif untuk menghindari stres dan gangguan psikosomatis akibat berkurangnya interaksi antar sesama manusia sebagai makhluk sosial.

Gangguan psikomatis umumnya dikeluhkan seseorang sebagai rasa sakit pada anggota tubuh. Disebabkan oleh faktor psikis maupun mental akibat stres atau rasa cemas yang berlebihan. “Contohnya, karena terlalu stres, perut menjadi mules. Saking bosennya di rumah, kita bawaannya pusing terus. Kemudian karena stres dan bosan, emosi menjadi lebih labil,\" terang Rini, kepada Radar Cirebon, Jumat (27/3).

Kemajuan teknologi bisa dimanfaatkan lebih maksimal untuk berusaha memenuhi hasrat bertemu dan berinteraksi. Salah satunya melalui panggilan video. Di mana wajah dan ekspresi 2 orang yang saling berkomunikasi, dapat terlihat.

Social media dan platform digital lain, dapat menjadi sarana penolong disaat situasi yang tidak memungkinkan untuk bertemu secara langsung. Rini menambahkan, mental yang baik akan mempengaruhi tingkat imunitas tubuh. Semakin orang tersebut merasa gembira, daya tahan tubuh akan meningkat dan mampu meminimalisasi risiko penularan terhadap berbagai macam penyakit.

Adapun semua yang dilakukan belum meminimalisasi risiko terjadinya gangguan kesehatan mental, Rini menganjurkan untuk berkonsultasi dengan seseorang yang mampu menerima curahan hati dan dapat bertukar fikiran serta memberikan solusi dengan baik.

\"Kalau di rumah sakit biasanya ada psikiater. Kalau di sekolah ada guru BK (bimbingan konseling, red). Mereka bisa dihubungi untuk bisa mendengar dan memberikan solusi atas apa yang kita keluhkan,\" pungkasnya.

Rini mengatakan, pada kenyataannya masyarakat tidak ada yang benar-benar menerapkan social distancing. Dikarenakan mereka masih bisa berkomunikasi melalui telepon dan memanfaatkan media daring.

Yang jadi masalah, kata Rini, ketika fisik tidak lagi bertemu, membuat seseorang merasa terbatasi. Padahal masih banyak yang bisa dilakukan untuk memenuhi aktivitas sehari-hari dari dalam rumah.

\"Kita bisa memanfaatkan teknologi untuk bekerja dan sebagainya. Di rumah juga kita bisa melakukan hal-hal yang disukai. Seperti masak, membaca buku, menulis, menonton film, dan masih banyak lagi. Intinya, manfaatkan waktu di rumah dengan sebaik-baiknya,\" katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: