Santo Purnama

Santo Purnama

Ia pun merasa harus meluruskan. “I\'m computer guy lol,” katanya. Setengah protes. Santo lulus Purdue University pada 1995. Berarti umurnya sekarang sekitar 45 tahun. Kebetulan beberapa kali saya pernah lewat dekat Purdue University di negara bagian Indiana itu. Beberapa teman saya juga alumni Purdue.

Dari Purdue itu Santo meneruskan kuliah ke Stanford University. Yakni universitas level utama yang ada di California. Di Stanford, Santo seangkatan dengan pendiri Google dan startup lainnya - -yang memang lagi mewabah saat itu. Orang tua Santo hanya membiayai sebagian ongkos kuliahnya itu. Santo sendiri yang harus mencari tambahannya. Ia punya otak bisnis --seperti yang diakui teman-temannya.

Keluarga Santo memang pebisnis. Kakaknya punya bisnis nikel, batubara, dan banyak lagi. Meski punya darah Tionghoa, Santo sudah generasi keempat di Indonesia. Kakeknya pun sudah kelahiran Aceh. Lalu bapaknya pindah ke Medan. Di Medan-lah Santo lahir. Tapi ketika masih kecil ia sudah diajak pindah ke Jakarta. Karena itu sekolahnya pun di Jakarta.

Santo adalah lulusan SMA Bunda Hati Kudus di Jakarta --dekat Grogol itu. Selama ini Santo sudah berbisnis di bidang alat kesehatan. Di Amerika sana. Misalnya alat tes diabetes dan urine. Ia berada dalam satu tim dengan temannya yang keturunan India: Shripal Gandhi. Yakni alumni Mumbai University di bidang kimia.

Ketika Covid-19 merajalela Santo dan Gandhi memproduksi alat tes untuk itu. Nama produknya itu: \'Sensing Self\'. Nama itu mengandung makna bahwa Anda tidak perlu dulu ke dokter. Tidak perlu dulu ke lab. Cukup melakukan tes sendiri di rumah masing-masing.

Kapan alat tes Covid-19 \'Sensing Self\' itu masuk Indonesia? Agar semakin banyak orang Indonesia yang melakukan tes --sebagai cara terbaik menghadang meluasnya Covid-19? “Kami sudah punya distributor lokal di Indonesia. Tentu masih harus memperoleh izin edar dari pemerintah Indonesia,” ujar Santo.

Untuk Eropa \'Sensing Self\' sudah mendapat persetujuan. Demikian juga India. India adalah pasar terbesar \'Sensing Self\'. Dengan harga USD 10 negara berpenduduk besar seperti Indonesia dan India sangat terbantu. “Our mission is to democratize the health lab tests so it’s easily and affordably accessible to all,\" ujar Santo.

Jadi yang akan diproduksi \'Sensing Self\' itu adalah kertas berenzim. Sedikit darah disentuhkan ke kertas itu. Sepuluh menit kemudian sudah tahu: positif atau negatif. Kertas berenzim itu dibungkus plastik --agar aman. Lalu ada packaging-nya. Semua itu akan dikerjakan di Tiongkok.

Akhirnya saya minta maaf. Sudah terlalu malam di California saat itu. “Good night,” tulis saya. \"Would love to chat more with you,” tulisnya. (dahlan iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: