Melawan (Moral) Pandemi

Melawan (Moral) Pandemi

Oleh: Fathan Mubarak

SATU contoh ekstrem di masa isolasi seperti sekarang adalah Emily Dickinson. Bukan empat belas hari, penyair perempuan Amerika ini mendekam dalam rumah selama sekitar tiga puluh lima tahun. Ia tidak menghadiri pemakaman ayahnya. Ia tidak berkata-kata kecuali lewat surat dan jendela. Ia, perempuan yang merasa berhasil mengurung Tuhan dalam kamarnya, pada akhirnya menjadi ironi budaya: Emily menjadi mitos Amherst saat masih hidup dan menjadi penyair justru setelah meninggal.

Salah satu puisi Emily yang saya suka dibuka dengan kalimat mirip gugon tuwon masyarakat Cirebon: A wounded deer – leaps highest. Rusa yang terluka, kata Emily, melompat paling tinggi. Sementara “luka dan bisa” Chairil menyeru tekad, “kesakitan” dan “lompatan” Emily adalah lukisan naluri.

Penjelasan kolerasi antara energi psikis dan fisik ini setidaknya bisa kita dapat dari Psikoanalisis Sigmund Freud. Kita pun melihat, rusa sesekali lolos dari predator justru karena lukanya—yang berdarah kesakitan meronta sejadi-jadinya, melompat setinggi-tingginya, dan berlari lebih cepat dari yang ia bisa. Larik puisi ini bisa menjadi pembanding bagi moral-etik publik hari ini yang mendorong lahirnya semacam urbach wiethe.

Ilmu genetik dan psikologi menggunakan istilah urbach wiethe untuk menunjuk pada kelainan di mana seseorang tidak memiliki rasa takut pada apa pun. Ia laksana gedung tanpa gerbang, satpam, dan CCTV. Alarm dalam tubuhnya pun hilang.

Dispilin zoologi punya contoh bagus. Di satu pulau timur Madagaskar yang kini menjadi bagian dari negara Mauritius, burung purba Raphus Cucullatus yang tak memiliki impuls terhadap predator akhirnya punah hanya dalam waktu kurang dari satu abad.

Hal sebaliknya kita temukan pada salah satu artikel Prof Salim Said yang membicarakan dependensi dan pertahanan antarnegara-negara dunia: Korea Selatan maju sebab takut Korea Utara, Taiwan terus tumbuh karena takut Tiongkok, sedang Israel kuat karena takut Islam.

Tapi pandemi diam-diam membentuk moral-etiknya sendiri. Masyarakat nusantara yang selama ribuan tahun—meminjam istilah Tan Malaka, hanya diajarkan menjongkok, masyarakat yang setelah revolusi fisik lekas melompat ke—sedikit memelintir istilah Goenawan Mohamad, “budaya RRI dan TVRI” tanpa melewati abad-abad literasi, tiba-tiba saja mengidap delusi menjadi Socrates atau Huineng.

Moral pandemi: orang mesti bersikap (pseudo) empati; berbagi informasi positif agar orang tenang dan tidak frustrasi; tidak mengeluh, menagih, rewel, cerewet, mengkritik, apalagi menyalahkan siapa pun; saling mendukung, saling menguatkan, bersatu padu, gotong royong, pasrah pada kebijakan dan instrumen-instrumen kekuasaan, dan seterusnya dan sebagainya.

Dalam perspektif “lompatan rusa” Emily, moral semacam itu justru menjadi mesin penghancur bagi naluri mahluk hidup yang di sepanjang sejarah peradaban terbukti menghindarkannya dari kepunahan. Kita pun kini digiring menjadi rusa yang melupakan kesakitannya hingga tak tahu cara luput dari bahaya: arus transportasi terus menderas, migrasi tak terkendali, impor tenaga kerja asing lestari, lalu pada saat yang sama, orang terus saja menganggap enteng pandemi dan bergerak ke sana kemari; bergerombol, berkerumun, hingga jumlah terinfeksi terus bertambah dari hari ke hari. Lockdown, yang dalam hukum di Indonesia setara dengan kekarantinaan, tidak dianggap perlu.

Hasilnya adalah satu istilah aneh: work from home. Di tengah kepungan pandemi dan komando polisi, orang dipaksa diam di rumah tanpa dipenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Lini masa berbagai platform media pun dipenuhi pameran “di rumah saja”.

Mereka bernyanyi, bermain musik, memasak, menulis, membaca buku, membaca puisi, membuat laporan perusahaan, konferensi jarak jauh, mengajar online, bermain zombie atau homes cape di HP, dan lain sebagainya. Sayangnya tidak semua pekerjaan bisa dibawa ke rumah. Tidak juga semua orang memiliki cadangan hidup jika harus berpuluh hari diam tanpa penghasilan.

Di daerah-daerah yang didominasi buruh dan pedagang, tagar “di rumah saja” jelas membuat mereka tak baik-baik saja. Orang kelabakan, sebab semakin hari uang semakin habis, beras habis, barang-barang yang bisa dijual habis, sementara setidaknya perut tetap dua kali sehari minta diisi. Belum lagi kredit motor, kredit rumah, bayar kontrakan, bayar cicilan bank, bayar listrik, bayar air, dan lain sebagainya.

Tak perlu kaum anarko atau buku-buku kiri untuk meletuskan kerusuhan dan penjarahan. Satu-satunya juru selamat hingga tak terjadi kekacauan sosial adalah pembagian sembako gratis yang sekali waktu dilakukan sejumlah ormas keagamaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: