Melawan (Moral) Pandemi
Di hadapan semuanya, kebosanan terlalu borjuis dan sepele. Tapi bahkan kolom salah seorang tokoh semakin berisi khotbah agar kita segera move on: berhenti khawatir, mengubah kecemasan menjadi kegembiraan, melakukan inovasi bisnis, dan lain-lain. Hingga pada akhirnya, Indonesia di masa pandemi dengan moralnya yang “Socrates dadakan” ini, semakin seperti apa yang oleh Mikhail Bakunin sebut sebagai rumah jagal, di mana segala daya hidup dicincang dan dikubur.
Dalam perbincangan politik kekuasaan, “moral pandemi” juga menjadi karpet merah bagi otoritarianisme dan gurita kebijakan publik. Di Aljazair, transisi demokrasi yang dibayangi Tebboune, militer dan konglomerat yang selama dua dekade menopang kekuasaan Bouteflika, menjadi macet.
Di Hongaria dan Filipina, kondisi semacam darurat sipil diberlakukan untuk membungkam oposisi dan media massa. Begitu juga yang terjadi di Mesir, Turki, Israel, India, Kamboja, Thailand, Venezuela dll.
Di Israel, dakwaan korupsi terhadap perdana menteri Netanyahu ditangguhkan menteri kehakiman. Di Rusia, partai penguasa terus berkonsolidasi untuk melakukan amandemen konstitusi yang memungkinkan Putin menjadi penguasa Rusia terlama melebihi Stalin.
Sedang di Indonesia satu Stafsus Presiden telah melakukan abuse of power untuk memuluskan bisnis pribadinya, satu Stafsus lainnya mengeksploitasi program triliunan prakerja dengan berbagai pelatihan tak berguna hingga semua lebih mirip praktik money laundry.
Meski akhirnya lebih memilih PSBB daripada kekarantinaan, beruntung rencana pemerintah Indonesia yang akan menerapkan Darurat Sipil berhasil digagalkan “nyinyiran” publik.
Demikianlah. Emily memang terlahir sebagai suatu interupsi. Dalam sejarah keluarga Dickinson yang gemilang—juga kilasan Abad yang Berlari, Emily seperti mengingatkan betapa perjalanan terjauh adalah menuju diri sendiri.
Namun barangkali puisi rusa Emily cukup ambigu. Seperti “ha ha”-nya Sutardji yang bisa ditautkan dengan tawa sekaligus luka, A wounded deer – leaps highest bahkan memuat tafsir kontradiktif. I’ve heard the hunter tell; Tis but the ecstasy of death. Dari baris berikutnya kita segera tahu, lompatan rusa tersebut justru merupakan isyarat kematian. Sayangnya konstitusi Indonesia tidak mengenal kata “tawasut” sebagaimana teologi ahlussunnah.
Kita tahu, sejak peristiwa 11 September, Amerika mulai mengampanyekan gerakan antiteroris. Tapi kita juga tahu, Amerika pasca perang dingin menjadi negara yang paling banyak melakukan invasi militer: perang Afganistan, perang Irak, perang Suriah, perang Mesir, intervensi Palestina, intervensi Libya, dll. Ini mirip dengan pemerintah RI yang menyatakan antiekstremis, namun pada saat yang sama bertindak dari satu ekstrem ke ekstrem berikutnya.
Suka atau tidak, tahun 2020 ini dibuka oleh ekstremitas pemerintah Indonesia yang menjadi bahan tertawaan negara-negara dunia. Di saat negara-negara mulai menutup diri untuk menghindari pandemi, pemerintah RI malah menggelontorkan miliaran anggaran agar para wisatawan terus berdatangan kemari.
Menteri Kesehatan sendiri mencemooh hasil riset dari Harvard yang menyebut kemungkinan Indonesia sudah terjangkit virus corona. Hingga pada gilirannya, istana jadi sarang omong kosong: Presiden mengumumkan resep jamunya, Wakil Presiden sebut qunut para ulama telah menghindarkan Indonesia dari corona, Menteri Dalam Negeri mengimbau agar masyarakat banyak makan tauge dan brokoli, Menteri Perhubungan mengklaim orang Indonesia kebal corona karena makan nasi kucing, Menteri Kesehatan mengangkat duta imun corona, Menko Maritim dan Investasi sebut corona tak tahan cuaca Indonesia, dan lain sebagainya.
Ekstrem berikutnya terjadi di awal bulan lalu. Tertanggal 4 April 2020, Kapolri menerbitkan Surat Telegram yang menginstruksikan patroli siber untuk mengawasi berita dan opini. Sasarannya adalah berita palsu dan penghinaan terhadap penguasa. Alhasil, saat hampir 40 ribu napi dibebaskan begitu saja, beberapa orang dari berbagai latar belakang yang dianggap menghina penguasa malah ditangkap.
Dengan kata lain, setelah meremehkan corona luar biasa, pemerintah berbalik menjadi panik luar biasa. Kata seorang kuncen salah satu masjid keramat di Cirebon: penggeden mesti akeh kritik, yen akeh saweran arane dangdutan.
Pada tahun 1886 di usia 56 tahun, Emily Dickinson meninggal. Kerabat Emily menemukan ribuan surat dan setidaknya 1.700 lebih puisi tanpa judul yang kelak akhirnya dicetak. Publik Amerika menyukainya. Kelas-kelas sastra membahasnya. Beberapa kritikus bahkan menganggap puisi-puisi Emliy sebagai inovasi penting kesusastraan Amerika abad sembilan belas.
Tak berhenti sampai di situ, pada tahun 2013 lalu, Cambridge University Press menerbitkan Emily Dickinson and Philosophy—satu seri kumpulan artikel filsafat yang dieditori tiga profesor dari tiga universitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: