Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dikritik, Begini Jawaban Istana

Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Dikritik, Begini Jawaban Istana

BERBAGAI kritikan muncul atas keputusan pemerintah menaikkan iuran peserta mandiri Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Keberlangsungan pengelolaan BPJS menjadi alasan pemerintah.

“Dengan angka itu yang memang punya prospek keberlanjutan pengelolaan BPJS. Memang dari Kementerian Keuangan mengatakan perhitungan itu juga sudah memperhitungkan terkait dengan ability to pay dalam melakukan pembayaran,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Ekologi dan Budaya Strategis, Abetnego Tarigan di Jakarta, Kamis (14/5).

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan iuran peserta mandiri kelas I naik 87,5 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu dan kelas II naik 96,07 persen dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu.

Selanjutnya iuran peserta mandiri kelas III baru akan naik tahun depan. Pemerintah menaikkan iuran peserta mandiri kelas III sebesar 37,25 persen dari Rp25.500 menjadi Rp35 ribu.

Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) membatalkan Perpres No.75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang memuat soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pada Perpres 75 tahun 2019 yang sudah dibatalkan itu menyebut iuran peserta mandiri kelas I sebesar Rp160 ribu, kelas II sebesar Ro110 ribu dan kelas III sebesar Rp42 ribu.

“Paket di perpres yang baru adalah upaya untuk perbaikan keseluruhan sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Jadi ini memperkuat upaya perbaikan tata kelola dari JKN ,” tutur Abetnego.

Dalam perpres No. 64 tahun 2020 itu juga mengatur iuran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah Pusat. Semula, peserta PBI terbagi menjadi PBI pusat dan PBI daerah atau PBI APBD.

Artinya pembayaran PBI bagi 40 persen dari penduduk ekonomi terbawah di Indonesia berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DKTS) ditanggung pemerintah pusat. Sedangkan nantinya pemerintah daerah akan menanggung sebagian iuran peserta mandiri Kelas III.

“Jadi yang dibatalkan terkait dengan dilakukan penyesuaian. Kemudian penyesuaian dilakukan pemerintah caranya adalah yang PBI pasti dibayar pemerintah. Tetapi yang bukan PBI tetap bayar seperti dulu. Selebihnya ada bantuan iuran pemerintah,\" terang Abetnego.

Bagi peserta mandiri yang kesulitan membayar tetap ada kesempatan untuk mengajukan diri sebagai peserta PBI melalui perbaikan data di Kementerian Sosial. “Yang juga harus dilihat terus-menerus adalah upaya perbaikan sistem informasi ketersediaan tempat tidur RS sekarang kan sudah online. Tidak ada lagi orang ditolak-tolak. Kemudian prosesnya lebih cepat dan lain-lainnya,” terangnya.

Ia menegaskan, kenaikan tersebut demi perbaikan sistem. Menurutnya, tidak ada lagi keributan soal defisit BPJS yang justru memperlambat pemerintah dalam penyelesaian tanggung jawab ke rumah sakit.

Hal senada disampaikan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris. Dikatakan Fachmi, pemerintah masih dalam koridor menjalankan putusan Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020.

Menurutnya, Perpres tersebut dan tidak menentang putusan Mahkamah Agung. “Kalau melihat ada tiga opsi dari peraturan MA. Satu mencabut, opsi kedua mengubah, atau ketiga melaksanakan. Nah, artinya Pak Jokowi masih dalam koridor, konteksnya adalah yang kedua mengubah. Dan mengubah ini masih sangat menghormati kalau compare ke Perpres 75,” ujarnya. (rh/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: