Kedua ayat ini, ungkapnya, mengisyaratkan bahwa kewajiban manusia itu untuk mendiami, mengelola dan mengembangkan bumi.
“Bidang pertanian adalah sebagian cara bagi manusia untuk mendapatkan pahala dan ganjaran dari Allah, selain menerima manfaat atau pendapatan yang halal,” tandasnya.
Termaktub dalam sabda Rasulullah: “Tiada seorang muslim pun yang bertani, lalu hasil pertaniannya dimakan oleh burung atau manusia atau binatang, melainkan dia akan menerima pahala di atas hal itu”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain Baginda Rasulullah bersabda: “Tiada seorang lelaki menanam sesuatu tanaman, melainkan Allah menetapkan baginya ganjaran sebanyak jumlah buah yang dihasilkan oleh tanaman tersebut”. (Hadits Riwayat Iman Ahmad).
BACA JUGA:Kepincut Indonesia, Pemain Argentina Pilih Liburan di Tanah Air
Dalam arti luas, tegasnya, pertanian juga mencakup peternakan dan perikanan. Berbicara mengenai peternakan atau memelihara atau budidaya ternak, bukankah sebagian nabi-nabi terdahulu masa mudanya adalah penggembala dalam hal ini penggembala kambing.
Tercatat dalam sejarah bukan hanya Nabi Muhammad yang pernah jadi penggembala kambing. Nabi-Nabi lain seperti Nabi Musa juga menggembalakan kambing mertuanya, yakni Nabi Syuaib, Juga Nabi Yusuf, begitu pula Nabi Daud.
Pertanian, menurut hematnya, juga bukan sekadar membudidayakannya. Pertania juga pada kegiatan setelahnya yakni pengolahan hasil lertanian.
Ini terlihat pada Al Qur’an Surat Yaasin atau 35, yang artinya: “Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahan oleh tangan mereka, maka mengapakah mereka tidak bersyukur?”
BACA JUGA:Kampung Unik di Tengah Belantara Hutan Garut, Jawa Barat, Memegang Teguh Mazhab Imam Syafi'i
Ayat tersebut secara struktural menjelaskan bahwa hasil dari budidaya adalah panen yang dapat dikonsumsi. Kemudian karena ada dalam jumlah lebih, maka tangan mereka mengusahakan sesuatu. Yakni manusia mencoba memanfaatkan hasil panen agar dapat lebih awet.
“Maka kita akan teringat kisah Nabi Yusuf AS. Yang diceritakan dalam Al-Qur’an tentang perencanaan strategis untuk membangun ketahanan pangan yang kuat,” jelas Hermawan.
“Dia (Yusuf) berkata agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa, kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan ditangkainya, kecuali sedikit untuk kamu makan”.
Dijelaskan, ayat 47 dari Surat Yusuf tersebut menceritakan Nabi Yusuf AS menyusun perencanaan strategis di sektor pertanian. Hal itu menjamin ketahanan pangan.
BACA JUGA:Julukan Baru untuk Pratama Arhan dari Media Argentina, Disebut 'Orang Gila'
Nabi Yusuf telah diprediksi akan mengalami kekurangan sumber makanan pokok. Akibat kemarau berkepanjangan selama tujuh tahun berturut-turut.