RADARCIREBON.COM - Tradisi menyediakan ketupat di hari Lebaran, memiliki makna religi yang cukup mendalam.
Ketupat Lebaran yang dipandang hanya sebatas makanan ini, memiliki makna penting dari sudut pandang masyarakat khususnya Pulau Jawa.
Dikutip dari andymse.wordpress.com, setiap elemen yang terdapat dalam ketupat Lebaran, memiliki makna masing-masing yang baik bagi kehidupan bermasyarakat.
Bahkan dari sisi sejarah, ketupat merupakan tradisi makanan yang sudah hadir sejak abad ke-15.
Selain itu, ketupat memiliki nilai-nilai Islam dalam penyebaran yang dilakukan oleh salah satu Wali Songo, yakni Sunan Kalijaga.
Berikut ini makna yang terkandung di dalam tradisi menghidangkan ketupat di hari lebaran.
Dari penelusuran sejarah, asal usul ketupat dimulai sejak masa hidup Sunan Kalijaga, yaitu pada abad ke-15 hingga 16.
Sunan Kalijaga adalah salah seorang Wali Songo yang turut menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.
BACA JUGA:Justin Hubner Lengkapi Skuad Timnas Indonesia U23, Enam Pemain Resmi Dicoret
Sunan Kalijaga menjadikan ketupat sebagai budaya dan filosofi dari pembauran antara Jawa dan nilai-nilai Islam.
Ketupat bukan sekedar hidangan hari raya, namun memiliki makna filosofis berikut ini:
Janur Kuning
Kebanyakan ketupat dibuat dengan janur kuning, walaupun sesekali ada juga yang membuat dengan daun kelapa yang sudah agak tua yang warna warna lebih gelap.
Menurut cerita orang-orang tua terdahulu, janur kuning merupakan perlambang sebagai penolak bala.
BACA JUGA:Inilah Faktor Penyebab Sering Terbangun dalam Keadaan Lapar di Malam Hari
Tidak hanya untuk ketupat, janur kuning sebagai penolak bala juga digunakan dalam acara lain misalnya saat menggelar hajatan.
Dalam falsafah Jawa, janur bermakna sejane ning nur (arah menggapai cahaya -maksudnya cahaya Illahi-). Adapun kuning bermakna sabdo dadi (yang dihasilkan dari hati atau jiwa yang bening).
Dengan demikian, penggunaan janur kuning dalam membuat ketupat atau dalam berbagai hajatan, mengandung cita-cita untuk menggapai atau memperoleh nur Allah dengan hati atau jiwa yang suci atau bening.
Atau dengan kata lain, keadaan hati dan jiwa manusia yang suci setelah mendapatkan nur (cahaya) dari Allah.
Bentuk Empat Sudut
Makna filosofi ketupat yang berbentuk segi empat, menunjukkan empat penjuru mata angin, namun sekarang ketupat juga dibuat dengan lebih variatif.
Bentuk segi empat ketupat melambangkan “kiblat papat limo pancer” atau empat arah mata angin dan satu pusat. Bentuk ini mencerminkan kesimbangan alam.
Secara religius bermakna bahwa kemana pun manusia itu berjalan pasti selalu menuju ke satu arah yaitu Allah, Sang Khalik.
Sedangkan secara akhlaki, mencerminkan empat macam nafsu manusia, yaitu amarah (nafsu emosional) aluamah (nafsu untuk memuaskan rasa lapar), supiah (nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah), dan mutmainah (nafsu untuk memaksakan diri).
Keempat nafsu ini hanya mampu ditaklukkan oleh satu amaliyah, yaitu dengan berpuasa.
Dalam tradisi ketupat lebaran, disimbolkan bahwa seseorang yang memakan ketupat, orang itu dianggap sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut.
Anyaman Ketupat
Gabungan janur kuning yang membentuk menjadi anyaman juga memiliki makna filosofis.
Bagi orang Jawa, anyaman tersebut memiliki makna berbagai kesalahan dosa manusia. Secara religius manusia itu tempatnya kesalahan dan kealphaan.
Adapun ketupat setelah dibelah dua dengan pisau menampakkan warna putih. Ini bermakna kebersihan dan kesucian manusia.
Dalam tradisi lebaran, kebersihan dan kesucian itu hanya dapat diperoleh setelah tuntas melakukan amal ibadah selama bulan Ramadhan.
Beras. Dalam tradisi sebagian besar masyarakat Indonesia, memiliki arti khusus. Beras melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan.
Adapun beras dalam ketupat bermakna setelah hati dan jiwa manusia itu bersih dari empat macam nafsu itu, maka manusia akan memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan.
Dengan demikian, bisa dimaknai pula bahwa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat itu hanya dapat diperoleh jika manusia dalam masyarakat itu memiliki hati dan jiwa yang bersih dan suci.
Apapun filosofinya, ketupat adalah tradisi budaya kita yang layak untuk terus dilestarikan.*