Ada Sejumlah Pasal Berpotensi Ancam Kemerdekaan Pers, IJTI Minta DPR Kaji Ulang Draf Revisi UU Penyiaran

Sabtu 11-05-2024,18:30 WIB
Reporter : Moh Junaedi
Editor : Moh Junaedi

Kedua, Pasal 50 B ayat 2 huruf k, penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. 

Pasal ini sangat multi tafsir terlebih yang menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik.

Oleh sebab itu, IJTI memandang bahwa pasal yang multi tafsir dan membingungkan berpotensi menjadi alat kekuasan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis dan pers. 

"Kita sepakat bahwa sistem tata negara menggunakan demokrasi, dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi."

BACA JUGA:Keluarga Vina: Isi Cerita Film 85 Persen Sama

"Pers memiliki tanggung jawab sebagai control sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntable dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik," imbuhnya.

Ketiga, Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Dalam catatannya, pasal ini harus dikaji ulang karena bersinggungan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyeleseaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers. 

"Kami juga memandang bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR," ungkapnya.

Sesuai dengan UU Pers telah jelas bahwa komunitas pers mendapat mandat untuk membuat regulasi sendiri dalam rangka mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui selft regulation. 

BACA JUGA:Penyakit Pernah Merajalela di Kota Cirebon, dari Kolera hingga Malaria, Diungkap Koran Hindia Belanda

Oleh karena itu, setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik penyiaran, cetak, digital (online) hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers. 

Langkah ini guna memastikan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas dan bertanggungjawab bisa berlangsung independent serta tidak ada intervensi dari pihak manapun. 

Menyikapi beberapa hal diatas, tersebut, IJTI menyatakan sikap, antara lain:

Pertama, menolak dan meminta agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers dicabut.

Kedua, meminta DPR mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasuk organisasi jurnalis serta publik.

Kategori :