Menyingkap Akar Politik Paternalistik di Indonesia: Sebuah Tantangan Bagi Demokrasi

Kamis 01-08-2024,17:30 WIB
Reporter : Asep Kurnia
Editor : Asep Kurnia

Ketika rakyat diam dalam terik matahari sebagai bentuk protes, pemimpin yang bijak harus mampu menangkap sinyal tersebut dan merespons dengan bijaksana.

Integritas dan profesionalitas harus menjadi etos kerja penyelenggara negara. Jika integritas hilang, maka hukum tidak akan memberikan efek jera. Lingkungan yang toksik atau kebobrokan moral bisa menjadi penyebab utama hilangnya integritas.

Kita membutuhkan pemimpin yang dapat menjaga kehormatannya dan tidak menyimpang dari apa yang dikatakan dan dilakukan. Mahkamah etik penting di Indonesia.

Lembaga ini akan menilai dan memberikan sanksi kepada pejabat yang melanggar etika, meskipun pelanggaran tersebut mungkin ringan di mata hukum.

Misalnya, tindakan pemimpin yang kasar atau tidak sopan mungkin tidak bisa dihukum berat secara hukum, tetapi bisa mendapatkan sanksi berat secara etika. Kita harus memiliki standar etika yang jelas dan tegas di semua tingkatan kepemimpinan.

Presiden sebagai kepala negara tertinggi harus menjadi teladan dalam hal etika. Jika pemimpin tertinggi saja tidak patuh pada etika, maka jangan harap para pejabat di bawahnya akan memiliki integritas.

Sistem nilai yang objektif harus diterapkan, sehingga seseorang dipilih berdasarkan kemampuan dan rekam jejaknya, bukan karena kedekatan atau hubungan kekeluargaan.

Implementasi meritokrasi di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Sistem politik yang paternalistik sering kali menjadi hambatan terbesar. Meskipun meritokrasi digagas dan dipromosikan, praktek di lapangan sering kali berbeda.

2

Banyak jabatan penting masih diisi oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, bukan berdasarkan kemampuan dan prestasi.

Selain itu, budaya patron-klien yang masih kuat dalam masyarakat kita juga menjadi tantangan. Dalam sistem ini, hubungan antara pemimpin dan rakyat sering kali didasarkan pada kedekatan pribadi dan loyalitas, bukan pada kemampuan dan prestasi. Untuk mengatasi hal ini, kita perlu mengubah budaya politik dan sosial kita secara menyeluruh. 

Pendidikan memainkan peran penting dalam mengubah budaya politik dan sosial. Pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai etika, integritas, dan meritokrasi sejak dini.

Generasi muda harus diajarkan untuk menghargai prestasi dan kemampuan, bukan kedekatan atau hubungan kekeluargaan. Pendidikan juga harus menanamkan nilai-nilai demokrasi dan partisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk mencabik politik paternalistik, kita harus membangun ekosistem etika yang kuat. Ini termasuk memiliki lembaga-lembaga etik yang independen dan berwibawa, serta menegakkan standar etika di semua tingkatan kepemimpinan.

Pelanggaran etika harus mendapatkan sanksi yang tegas, baik sanksi sosial maupun sanksi formal. Hanya dengan demikian kita bisa memastikan bahwa etika dan integritas menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Masyarakat sipil juga memainkan peran penting dalam menjaga dan menegakkan etika. Masyarakat harus kritis dan aktif dalam mengawasi perilaku para pemimpin.

Media massa, LSM, dan organisasi masyarakat harus berperan sebagai pengawas yang independen dan berani mengungkap pelanggaran etika. Masyarakat juga harus diberikan ruang untuk menyampaikan kritik dan protes tanpa takut akan represali.

Kategori :