CIREBON, RADARCIREBON.COM – Tantangan arus informasi di era kecerdasan buatan semakin rumit. Setiap pesan yang melintas di layar ponsel bisa saja benar, bisa pula menjebak. Batas antar keduanya kini makin kabur.
Situasi inilah yang menjadi sorotan dalam Seminar Literasi Digital 2025 bertema “Navigasi Era Digital: Strategi Sosialisasi Informasi di Media Sosial Era AI” di Aula STMIK IKMI Cirebon, Rabu (19/11/2025). Aula penuh oleh 70 mahasiswa dari berbagai jurusan yang mengikuti rangkaian materi yang tersaji cepat di layar.
Dalam kegiatan itu, dilakukan Penandatanganan Implementasi Kerja Sama antara DKIS Kota Cirebon dan STMIK IKMI Cirebon, sebagai tindak lanjut dari MoU yang telah ditandatangani sebelumnya. Komitmen ini menjadi langkah memperkuat literasi digital serta memperluas kolaborasi pemerintah–kampus.
Kepala DKIS Kota Cirebon, Maaruf Nuryasa, membuka materi dengan gambaran kota yang bergerak menuju ekosistem cerdas berbasis data. Ia menilai pemanfaatan AI sudah masuk ke hampir semua sektor dan menuntut kemampuan masyarakat untuk menavigasinya.
BACA JUGA:Workshop Riset STMIK IKMI Dorong Dosen Tembus Hibah Kemdiktisaintek 2026
Ia mengingatkan mahasiswa agar mampu membaca peluang sekaligus risikonya. Kota yang terhubung data memang memudahkan warga, tetapi penyebaran informasi keliru pun semakin cepat. Karena itu, mahasiswa didorong lebih aktif menjadi pengawas arus informasi di lingkungannya.
Ketua STMIK IKMI Cirebon, Assoc Prof Dr Dadang Sudrajat SSi MKom, menekankan bahwa literasi digital kini menjadi kompetensi utama. AI hadir di hampir setiap proses belajar, namun tetap harus diposisikan sebagai alat bantu, bukan jalan pintas. Kampus, menurutnya, harus menjadi rumah bagi pembentukan karakter digital yang sehat: kemampuan verifikasi, pengelolaan data, hingga kecakapan membaca pola digital.
Dosen STMIK IKMI, Khaerul Anam MKom, menyoroti cepatnya siklus informasi di media sosial. Strategi komunikasi, katanya, tidak bisa lagi mengandalkan pesan panjang dan rumit. Konten harus ringkas, akurat, dan mudah diverifikasi. Pemahaman algoritma platform menjadi keahlian baru yang wajib dimiliki agar tidak terjebak dalam bias dan distorsi informasi.
Sementara itu, Denni Pratama memaparkan bagaimana AI mampu membuat konten palsu terlihat sangat meyakinkan. Video pun bisa dipalsukan. Karena itu, literasi digital menjadi benteng terakhir. Ia merangkum tiga langkah dasar: verifikasi, validasi, dan tidak membagikan informasi tanpa sumber jelas. AI, katanya, adalah pisau bermata dua—berguna bila diarahkan untuk hal positif seperti mempelajari literatur, memahami data, dan menguatkan analisis.
Seminar berlangsung 3,5 jam. Mahasiswa aktif mencatat, bertanya, dan berdiskusi. Pesan yang disampaikan para narasumber mengerucut pada satu hal: era AI bukan era santai. Ini era kewaspadaan dan kesadaran digital.
Literasi digital kini bukan sekadar kemampuan mengoperasikan aplikasi, melainkan kemampuan bertahan hidup di ruang informasi yang terus bergerak. Yang penting bukan siapa paling cepat membagikan kabar, tetapi siapa yang paling mampu memahaminya secara jernih.
STMIK IKMI Cirebon berharap implementasi kerja sama dengan DKIS ini memperluas ruang edukasi dan memperkuat kemampuan masyarakat menghadapi masa depan yang makin ditopang data serta kecerdasan buatan. (ade)