Pemerintah Setuju Bensin Dihapus

Selasa 23-12-2014,09:30 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Jika Diberlakukan, SPBU Milik Asing Terancam Bangkrut JAKARTA - Rekomendasi tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) untuk menghentikan pengadaan bensin dengan research octane number (RON) 88 atau premium mendapat sinyal lampu hijau dari pemerintah. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), misalnya, mengakui sudah mendengar masukan dari tim reformasi. Saat ini usul tersebut masih dikaji. “Tapi, saya kira itu usul baik,” ujarnya di Kantor Wakil Presiden kemarin (22/12). Menurut JK, setidaknya ada dua alasan premium bisa dihapus dari peredaran. Pertama, saat ini tidak ada produsen yang memproduksi bahan bakar minyak (BBM) dengan RON 88. Akibatnya, Pertamina harus mengimpor BBM RON 92, lalu mencampurnya dengan nafta agar turun menjadi RON 88. “Jadinya susah,” katanya. Kedua, kualitas BBM dengan angka oktan yang lebih tinggi sudah sesuai dengan spesifikasi kebutuhan kendaraan bermotor. Saat ini sebenarnya semua mobil memang mensyaratkan penggunaan BBM dengan RON minimal 92 atau sekelas pertamax agar pembakaran mesinnya lebih sempurna. “Supaya mesinnya lebih awet,” tuturnya. Sementara itu, Menteri ESDM Sudirman Said mengapresiasi apa yang sudah dihasilkan tim reformasi. Dia menyebutnya sudah sejalan dengan tujuan pembentukan tim untuk mengurangi seminimal mungkin ruang-ruang bagi mafia pemburu rente migas. “Pandangan dari tim RTKM mengalihkan RON 88 ke RON 92 akan mengurangi ruang praktik bisnis kartel,” katanya. Untuk implementasi rekomendasi tersebut, Sudirman mengatakan butuh waktu guna berbicara dengan Pertamina. Itu perlu dilakukan karena Pertamina yang punya kilang. Terpisah, Direktur Ritel dan Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang menyatakan, perubahan premium menjadi pertamax bukan tidak mungkin dilakukan. Malah, waktu dua atau tiga bulan cukup untuk mewujudkan rekomendasi tersebut. Apalagi kalau kilang milik PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban digunakan sepenuhnya oleh Pertamina. “Kalau bisa dioperasikan, tidak perlu lagi ada pencampuran nafta pada jenis tertentu untuk menghasilkan RON 92,” terangnya. Di samping itu, sesuai dengan refinery development master plan (RDMP), seluruh kilang milik Pertamina akan di-upgrade untuk bisa menghasilkan jenis bahan bakar berkadar baik. “Setiap kilang bisa menghasilkan 200 ribu barel jenis RON 92. Di seluruh kilang milik Pertamina, bukan Kilang Balongan saja,” ucapnya. Seperti diberitakan, Pertamina memang sedang menjalin kerja sama dengan tiga perusahaan minyak asal Jepang, Arab Saudi, dan Tiongkok untuk meng-upgrade kondisi kilang. Sebab, saat ini enam kilang Pertamina hanya mampu memproduksi 800 ribu barel per hari. Jauh dari kebutuhan nasional yang memerlukan 1,5 juta barel per hari. Kalau proyek sudah disepakati, dibutuhkan waktu setidaknya empat tahun ke depan untuk realisasi. Direktur TPPI Basya G Hima­wan mengatakan, pihaknya siap bekerja sama untuk mewu­judkan peralihan dari pre­mium ke pertamax. Kilang­nya bisa memproduksi RON 92 ataupun yang lebih rendah. Kepada koran ini, dia me­nyebut tidak ada persyaratan khu­sus agar pemerintah bisa membe­bankan produksi ke TPPI. “Langsung saja. Kami tunggu kepastiannya,” terang Basya melalui sambunga telepon. Untuk memproduksi, pihaknya siap bekerja sama dengan Pertamina, pemerintah secara langsung, atau secara independen. Untuk kapasitas produksi, kilang TPPI disebutnya bisa menghasilkan RON 92 atau pertamax sampai 45 ribu barel per hari. Sedangkan premium 60 ribu barel per hari. Terpisah, Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian Budi Darmadi setuju jika bensin premium dihilangkan. Dengan begitu, tidak ada lagi polemik pengaturan konsumsi premium dan pertamax. Positifnya, semua mobil akan menikmati bahan bakar berkualitas lebih baik. “Mobil-mobil baru seharusnya memang pakai RON 92,” tuturnya. Menurut Budi, total ada sekitar 10 juta unit mobil yang beredar saat ini yang menjadi konsumen stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Namun, dia tidak bisa memperkirakan berapa jumlah mobil yang mengonsumsi premium. Budi mengakui, pemerintah kesulitan untuk mengontrol pembelian BBM. “Mau beli premium, pertamax, solar itu hak konsumen,” ucapnya. Dengan dihilangkannya premium, hanya akan ada BBM jenis pertamax di SPBU. Hal itu, lanjut Budi, semakin mempermudah pengawasan dan mengurangi penyelewengan. “Seperti LCGC (low cost green car) itu wajibnya pakai pertamax, tapi banyak juga yang isi premium. Risikonya tanggung sendiri. Menurut produsen, kalau pakai premium, dua tahun mesin bisa rusak. Garansi juga bisa tidak berlaku,” tegasnya. Namun, Budi menolak asumsi bahwa LCGC memakan BBM subsidi dengan volume yang sangat besar. Pasalnya, penjualan LCGC hanya berkisar 120 ribu unit per tahun atau sekitar 1 persen dari total penjualan mobil nasional yang tembus 1,2 juta unit. “Jadi, 99 persen konsumennya dari mobil jenis lain. Apalagi, LCGC irit banget, 1 liter bisa 20 kilometer. Kalaupun pakai pertamax nggak akan banyak berpengaruh ke kantong,” jelasnya. Di tempat terpisah, pengamat ekonomi Aviliani mendukung upaya penghapusan BBM jenis premium. “Langkah penghapusan tersebut cukup baik. Karena berapa pun RON yang digunakan, baik RON 88 maupun RON 92, yang jelas semuanya harus subsidi tetap. Di sisi lain, penghapusan BBM jenis premium juga dapat mempersempit ruang gerak mafia migas yang kerap mempermainkan harga pasar,” jelasnya kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group). Aviliani mengungkapkan bahwa jumlah ideal selisih antara BBM jenis RON 88 dan RON 92 minimal harus Rp2 ribu. Sebab, hal tersebut akan memengaruhi daya beli masyarakat terhadap konsumsi BBM. “Hal itu bertujuan agar ada peralihan konsumsi masyarakat dari yang semula RON 88 menjadi ke RON 92,” tambahnya. Pertamina, imbuh Aviliani, juga harus membangun kilang baru agar dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Selain itu, adanya kilang baru terse­but akan memungkinkan muncul­nya harga pasar yang lebih murah daripada biasanya. “Dua tahun lalu Pertamina bilang masih kurang pemba­ngunan dua kilang. Seharusnya dalam waktu dekat segera direalisasikan hal itu agar ketergantungan impor berkurang,” tuturnya. Dengan adanya kilang-kilang baru yang beroperasi nanti, dia yakin kapasitas produksi dan kualitas BBM akan meningkat. Aviliani juga membandingkan harga di dalam negeri dengan harga di luar negeri. Indonesia, lanjut dia, menetapkan harga pasar yang terlampau murah. Ka­rena itu, subsidi pada bukan barang wajib ditetapkan. Meski nan­ti pemerintah harus siap meng­­hadapi kekagetan konsu­men yang harus membayar har­ga le­bih mahal daripada biasanya. SPBU ASING Rencana kebijakan subsidi untuk bahan bakar RON 92 yang produknya dikenal sebagai pertamax bisa berdampak buruk pada SPBU asing. BPH Migas sebelumnya mengusulkan besaran subsidi tetap antara Rp1.500 sampai Rp2.000. Kalau angka itu disetujui dan dipindahkan ke pertamax, harga pertamax bisa turun sampai Rp7.950 untuk Jabodetabek. Tentu saja itu jadi mimpi buruk bagi SPBU asing yang masih menjual Rp9.950. “Pengalihan subsidi bisa menekan SPBU asing seperti Shell untuk menurunkan harganya,” ujar Ketua Tim RTKM Faisal Basri. Nah, kalau tidak mau menurunkan harga karena takut rugi, SPBU asing tetap menjual dengan disparitas harga yang cukup lumayan. Bukan tidak mungkin itu membuat pembeli lari. Anggota Komite BPH Migas Ibrahim Hasyim mengatakan, rekomendasi tersebut merupakan salah satu upaya untuk memba­ngun kedaulatan energi. Untuk menja­ga iklim, sebenarnya Shell, Petronas, maupun Total punya ke­sempatan yang sama untuk men­distribusikan BBM subsidi. Jadi, nanti di SPBU asing ada harga yang sama untuk produk RON 92. Setiap tahunnya BPH Migas membuka beauty contest bagi perusahaan-perusahaan yang berminat mendistribusikan BBM subsidi. Untuk tahun ini, pemenangnya adalah PT Pertamina dan PT AKR Corporindo. “Silakan saja, siapa saja. Setiap kali seleksi, puluhan perusa­haan ikut. Lantas kita seleksi ad­ministrasinya, seleksi teknik, sampai finansial. Tahun ini pili­han mengerucut dan membe­rikan penugasan BBM subsidi melalui badan usaha yang punya infrastruktrur, yakni Pertamina dan AKR,” jelasnya. Shell maupun Petronas sebenarnya pernah ikut beauty contest. Namun, Ibrahim ingat betul, dua perusahaan itu mundur karena ada beberapa persyaratan yang tidak bisa dipenuhi. Yang paling berat adalah kepemilikan infrastruktur di luar Jawa atau Jabodetabek.Kalau mau mendistribusikan BBM subsidi, SPBU asing mutlak perlu membangun jaringan lagi. Tidak mudah dan butuh biaya besar memang. Tetapi, itu syarat mutlak karena distribusi BBM subsidi ada di tangan pemerintah. “Kalau memenuhi syarat, siapa pun bisa ikut mendistribusikan,” tuturnya. Di sisi lain, Ibrahim me­nga­takan, realisasi dari rekomen­dasi perlu karena permintaan atas BBM beroktan tinggi makin besar. Kendaraan keluar­an terbaru disebutnya me­minta oktan tinggi untuk meng­gerakkan mesin dengan baik. Shell sebagai salah satu SPBU asing yang terancam gulung tikar alias bangkrut karena menjual bahan bakar RON 92 lebih tinggi daripada Pertamina belum bisa berkomentar banyak. Country Marketing Manager Shell Retail Julio Manuputty saat dihubungi semalam memilih menunggu langkah pemerintah atas rekomendasi itu. “Kami belum bisa memberikan komentar. Masih menunggu peraturannya bagaimana nanti,” jawabnya. Ucapan yang sama muncul saat disinggung apakah rekomendasi yang disampaikan tim pimpinan Faisal Basri tersebut merugikan pihaknya atau tidak. (dim/owi/wir/dee/c9/kim)

Tags :
Kategori :

Terkait