Mukjizat Besar Bernama Rosy

Sabtu 03-10-2015,21:05 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Buku Curhat Menantu Konglomerat (3-Habis) SELESAI membaca buku ini, terbayang oleh saya sosok Rosy Riady, istri Tahir: betapa hebatnya perempuan ini. Bisa membawakan diri begitu baiknya di antara dua pihak yang dicintainya: sang suami di satu pihak dan ayah beserta saudara kandungnya di pihak lain. Belum tentu di antara satu juta orang, bisa ada satu yang seperti Rosy. Saya membayangkan seperti apa body language Rosy di saat sang suami curhat kepadanya mengenai mertua yang tidak lain adalah ayah kandungnya. Tergambar di buku itu bahwa di satu pihak Rosy membenarkan penilaian suaminya mengenai karakter bapaknya. Tapi, di sisi lain, apa pun itu adalah bapaknya, yang juga jadi idolanya. Hebatnya, dalam suasana seperti itu rumah tangga Tahir-Rosy bisa bertahan sangat harmonis. Perkawinan itu kini sudah berumur 38 tahun. Sudah menghasilkan 4 anak dan 11 cucu (4 laki-laki, 7 perempuan). Di buku itu, Tahir memuji habis-habisan Rosy sebagai bidadari kiriman Tuhan. “Rosy itu istri yang tidak pernah berbuat salah,” kata Tahir. “Satu-satunya kesalahan yang dia perbuat adalah kawin dengan saya,” tulis Tahir setengah bergurau, setengah merendah. Itulah bukti bahwa cinta abadi tidak harus muncul sejak sebelum perkawinan. Tahir-Rosy membuktikan bahwa cinta abadi bisa muncul setelah perkawinan. Dan Tahir menilai keharmonisan itu berkat sikap Rosy yang istimewa. Rosy sama sekali tidak pernah menampilkan diri sebagai anak seorang konglomerat papan atas Indonesia. Kalau tidak ada nama Riady di belakangnya, orang akan mengira dia gadis dari keluarga biasa. Yang juga istimewa, kata Tahir, Rosy mau menurunkan standar hidupnya mengikuti standar hidup saya. Sewaktu Tahir bisa membeli rumah di Slipi, Jakarta, hatinya masih belum tenang. Tahir membayangkan apakah istrinya, yang sudah terbiasa tumbuh dan berkembang di rumah seorang konglomerat, bisa menerima tinggal di rumah biasa. Tapi, hati Tahir langsung mengembang manakala untuk kali pertama melihat sang istri memasuki rumah itu. Wajahnya  berbinar. Tidak ada mimik terkejut atau ragu atau canggung sedikit pun. Bahkan, di rumah biasa itu Rosy langsung menata sendiri segala perabot dengan bersemangat. Juga bersih-bersih. Bahkan, Rosy hanya mau ada satu pembantu di rumah itu. Terasa sekali Rosy bahagia karena mereka akan tinggal di rumah sendiri. Rosy seperti ingin menunjukkan bahwa itulah saatnya dirinya menjadi ibu dari sebuah rumah tangga yang mandiri. Tahir menduga sikap istimewa Rosy itu menurun dari ibunya, Ny Mochtar Riady. Tahir memuji mertua perempuannya itu sebagai perempuan yang istimewa di dalam keluarga besar Mochtar Riady. Mampu menjaga keseimbangan di antara sayap-sayap dalam keluarga itu. Tahir tidak lupa bahwa keberhasilannya mencapai gelar S-2 adalah berkat paksaan dari ibu mertua. “Tahir, semua menantu saya harus lulus S-2. Kamu harus kuliah lagi. Di Amerika. Saya yang membiayai,” ujar mertua perempuan itu seperti dikutip Tahir. Tahir mencatat, ada tiga perempuan hebat yang menentukan hidupnya. Tapi, yang terutama adalah ibu dan istrinya. Dan yang berada di atas segala-galanya itu adalah ibunya. Ibunyalah, di samping yang mengandung dan melahirkan, yang juga mendidiknya dengan keras. Ibunyalah yang menyiapkannya menjadi pedagang. Ibunyalah yang menjadi inspirasi dalam hidupnya. Karena itu, foto sang ibu dia pasang secara khusus di lorong kantornya. Di posisi yang mau tidak mau dia menatapnya saat memasuki kantornya. Setiap kali itu pula Tahir merasa mendapat tambahan semangat hidup. Bahkan, sang ibu, setelah ikut pindah ke Jakarta, diberinya kesibukan sebagai salah satu kepala cabang Bank Mayapada di Jakarta. Sampai sekarang. Saat usia beliau sudah 84 tahun. Cabang tersebut menjadi cabang terbaik di antara seluruh cabang Bank Mayapada di Indonesia. Kini, setelah menjadi konglomerat papan atas Indonesia, Tahir dikenal memiliki begitu banyak kegiatan sosial. Termasuk yang bekerja sama dengan Bill Gates. Itu dia lakukan untuk memenuhi wasiat bapaknya, yang meninggal karena stroke lebih dari 20 tahun lalu. Wasiat itu diucapkan pada 1966. Saat nama Tahir ditetapkan oleh bapaknya sebagai pengganti namanya yang lama: Ang Tjoen Ming. Inti wasiat itu: Tahir, namamu nama Indonesia. Hanya satu kata. Kamu lahir di Indonesia. Besar di Indonesia. Mendapat hidup dari Indonesia. Kamu adalah orang Indonesia. Dan akan mati di Indonesia. Mengabdilah untuk Indonesia. Sejak hari itu, bapaknya, yang kelahiran Fujian, memanggilnya dengan nama Tahir. Mula-mula, karena belum terbiasa, nama Tahir diucapkan bapaknya dengan susah payah. Tapi, lama-lama terbiasa: Tahir! Meski tidak pernah percaya pada ramalan, Tahir merasa bahwa keberuntungan dalam hidupnya begitu banyak. Yakni, ketika bertemu orang yang tidak disangka-sangka menolongnya. Seorang pejabat bea cukai di Singapura tanpa dimintanya tiba-tiba menawarinya modal. Dirjen Perdagangan Luar Negeri yang tanpa dia minta memberinya kuota ekspor garmen ke Amerika. Wakil menteri keuangan yang tidak dia sangka memperlancar izinnya untuk mendirikan bank. Dan tentu Dr Mochtar Riady yang kok bisa-bisanya mengambilnya jadi menantu. Menarik juga bagian buku yang menceritakan saat Tahir berhasil mendirikan bank. Saat itu mertuanya gagal mendapat izin serupa. Diceritakan bagaimana dia harus bersikap untuk menghadapi keinginan mertuanya. Sebuah pelajaran memadukan sikap hormat dan teguh yang piawai. Tapi, tulis Tahir, semua itu tidak ada artinya. Keberuntungannya menumpuk harta, memperbanyak aset, dan memperbesar kekayaan itu kalah oleh keberuntungannya yang satu ini: mengawini Rosy. “Keberuntungan saya yang paling besar adalah bukan aset, bukan momen bisnis. Keberuntungan saya paling besar adalah Rosy. Dia mukjizat paling besar dalam hidup saya,”. Sayangnya, Rosy tidak tampak hadir saat buku ini diluncurkan dalam sebuah pesta besar di Hotel Shangri-La Jakarta pekan lalu. Tidak juga mertua dan ipar-iparnya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait