PILKADA serentak 2015 menjadi ajang pesta para petahana atau incumbent. Tidak sedikit petahana yang memenangkan pilkada, bahkan sebagian di antaranya mencatatkan kemenangan mutlak di atas 75 persen. Kemenangan tersebut kebanyakan terjadi pada daerah yang paslonnya hanya dua, termasuk yang terjadi di Kabupaten Indramayu. Pantauan di SITUNG KPU (https://pilkada2015.kpu.go.id) tercatat sedikitnya delapan daerah yang petahananya mencatatkan kemenangan, bahkan kemenangan mutlak. Rekor tertinggi dipegang oleh Kota Blitar. Mantan Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar yang baru bebas tugas Agustus lalu memenangkan pilkada bersama calon wakilnya, Santoso, dengan prosentase suara 92,04 persen. Posisi kedua dipegang oleh Kabupaten Kutai Kartanegara. Calon bupati petahana Rita Widyasari mencatat kemenangan 89,4 persen atas ketiga lawannya. Dia berduet dengan Edi Damansyah. Kota Surabaya sendiri berada di urutan lima tertinggi. Paslon Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana mencatat kemenangan 86,22 persen suara. Direktur Eksekutif perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, dalam pilkada kali ini petahana memang punya keuntungan besar. “Suka tidak suka, petahana memang selalu satu langkah lebih maju ketimbang calon lainnya,’’ terangnya kemarin. Hal itu tidak bisa langsung dipandang negatif. Bagaimanapun, petahana punya kesempatan besar selama satu periode untuk menunjukkan prestasinya dalam melayani warga. Karena itulah, petahana berkepentingan maju lagi untuk kedua kalinya. Dari sampel 63 daerah seluruh Indonesia dengan calon petahana yang diteliti Perludem, hanya ada 13 daerah yang dimenangkan oleh rival petahana. Selebihnya, 50 daerah dikuasai petahana. Dari sekitar 130 daerah yang memiliki calon petahana, mayoritas memang memenangkan kompetisi. Titi menuturkan, ada dua faktor yang membuat petahana begitu dominan. Pertama, sang petahana memang masih diinginkan rakyat. Hal itu dipengaruhi prestasi kinerja sang petahana selama menjabat, sehingga masyarakat masih mempercayai dia untuk menjabat. Faktor kedua menurut Titi masih perlu pembuktian. Yakni, apakah kemenangan itu dipengaruhi akses petahana terhadap birokrasi, APBD, dan fasilitas daerah. “Ketiga hal itu diduga digunakan oleh calon petahana untuk kepentingan pemenangannya,” lanjut Titi. Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan pendidikan pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai wajar apabila petahana memenangkan pilkada. Selama kinerjanya baik, tentu dia akan terpilih lagi. “Tapi menjadi tidak wajar apabila kemenangannya itu di atas 75 persen,” ujarnya. Faktor kedua, lanjutnya, adalah jumlah paslon yang berlaga. Apabila paslonnya hanya dua, maka bisa saja petahana meraih kemenangan di atas 75 persen. Hal itu salah satunya bisa merupakan akibat calon non petahana terlalu jauh kualitasnya dibandingkan petahana, dan pemilih tidak memiliki alternatif lain. Faktor ketiga adalah kecurigaan kongkalikong. “Bisa diduga ada pembicaraan tertentu antara petahana dengan lawannya,” lanjutnya. Sehingga, lawan dari petahana pun tidak banyak bekerja untuk memenangkan pilkada. Bukan tidak mungkin, di belakang akan muncul tudingan lawan dari petahana sejak awal tidak serius memburu kemenangan. Di luar itu semua, tambahnya, bagaimanapun masyarakat sudah menjatuhkan pilihan. Tinggal bagaimana petahana membuktikan kinerjanya pada periode kedua untuk menjawab kepercayaan para pemilih. JPPR juga mencatat rekor kemenangan di satu daerah, yakni Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi Barat. Di kabupaten tersebut tidak ada petahana yang berlaga. Namun, kemenangan yang dicatat satu dari dua paslon mencapai angka 97,69 persen. “Itu kemenangannya fantastis sekali,” tutupnya. (byu)
2015 Pestanya Para Incumbent
Senin 14-12-2015,22:46 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :